Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Menteri Segala Urusan : Catatan Kelam Praktek Tata Kelola Pemerintahan di Era Presiden Jokowi

21 Juni 2025   13:01 Diperbarui: 24 Juni 2025   18:34 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (Kompas.com)

Retorika efisiensi seringkali menjadi alasan untuk menjustifikasi sentralisasi kekuasaan. Namun efisiensi yang mengabaikan sistem dan lembaga justru menciptakan bahaya yang lebih besar: matinya partisipasi kelembagaan, dan munculnya rezim personalistik.

Luhut bukan hanya menjalankan tugas, ia mengonsolidasikan peran lintas bidang: mengoordinasikan, memutuskan, mengawasi, bahkan mewakili negara. Sebuah kekuasaan yang sangat luas, tanpa pengawasan publik yang memadai.

Sistem Dibajak oleh Figur

Ketika satu pejabat publik memegang terlalu banyak kekuasaan lintas sektor dan lintas kelembagaan, maka yang rusak bukan hanya sistem administrasi, tetapi semangat konstitusional itu sendiri. Negara menjadi personal, lembaga menjadi hampa, dan demokrasi berjalan di bawah bayang-bayang figur yang tak tersentuh.

Situasi ini bukan kehebatan teknokrasi, tapi gejala awal pembusukan institusi.

Konsekuensi Sistemik: Lembaga Melemah, Loyalitas Terpecah

Fenomena “menteri segala urusan” bukan sekadar soal penumpukan tugas administratif, tetapi merupakan gejala kronis dari penyakit sistemik dalam tata kelola pemerintahan. Ketika satu figur mengambil alih peran lintas sektor, maka sistem yang seharusnya berjalan kolektif menjadi tergantung pada satu pusat kendali informal. Situasi ini menimbulkan efek domino terhadap struktur, budaya, dan orientasi kekuasaan dalam negara.

1. Kementerian dan Lembaga Lain Menjadi Simbolik

Kementerian yang secara hukum memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) di sektor-sektor tertentu menjadi terpinggirkan. Banyak menteri hanya hadir secara protokoler, ikut rapat, mengeluarkan pernyataan pers, tetapi tidak punya peran substantif dalam pengambilan kebijakan strategis.

Contohnya:

  • Dalam urusan pandemi, Menteri Kesehatan kehilangan sentralitas ketika koordinasi dan eksekusi strategi nasional berada di bawah kendali Luhut.
  • Dalam hilirisasi nikel dan transisi energi, Menteri ESDM dan Menteri Perindustrian nyaris tak terdengar, karena seluruh narasi dikuasai oleh Luhut sebagai juru bicara kebijakan tambang nasional.
  • Bahkan Menko Perekonomian, yang seharusnya menjadi koordinator sektor investasi dan perdagangan, kalah pengaruh dalam negosiasi dengan investor Tiongkok.

Menurut Prof. Bivitri Susanti, pendiri Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, “Fungsi kementerian menjadi lumpuh ketika pengambilan keputusan tidak lagi mengikuti struktur birokrasi, tetapi mengikuti jejaring kekuasaan informal.” Ia menambahkan bahwa kabinet yang tidak berjalan kolektif akan melahirkan rezim delegatif, bukan sistem presidensial modern.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun