Retorika efisiensi seringkali menjadi alasan untuk menjustifikasi sentralisasi kekuasaan. Namun efisiensi yang mengabaikan sistem dan lembaga justru menciptakan bahaya yang lebih besar: matinya partisipasi kelembagaan, dan munculnya rezim personalistik.
Luhut bukan hanya menjalankan tugas, ia mengonsolidasikan peran lintas bidang: mengoordinasikan, memutuskan, mengawasi, bahkan mewakili negara. Sebuah kekuasaan yang sangat luas, tanpa pengawasan publik yang memadai.
Sistem Dibajak oleh Figur
Ketika satu pejabat publik memegang terlalu banyak kekuasaan lintas sektor dan lintas kelembagaan, maka yang rusak bukan hanya sistem administrasi, tetapi semangat konstitusional itu sendiri. Negara menjadi personal, lembaga menjadi hampa, dan demokrasi berjalan di bawah bayang-bayang figur yang tak tersentuh.
Situasi ini bukan kehebatan teknokrasi, tapi gejala awal pembusukan institusi.
Konsekuensi Sistemik: Lembaga Melemah, Loyalitas Terpecah
Fenomena “menteri segala urusan” bukan sekadar soal penumpukan tugas administratif, tetapi merupakan gejala kronis dari penyakit sistemik dalam tata kelola pemerintahan. Ketika satu figur mengambil alih peran lintas sektor, maka sistem yang seharusnya berjalan kolektif menjadi tergantung pada satu pusat kendali informal. Situasi ini menimbulkan efek domino terhadap struktur, budaya, dan orientasi kekuasaan dalam negara.
1. Kementerian dan Lembaga Lain Menjadi Simbolik
Kementerian yang secara hukum memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) di sektor-sektor tertentu menjadi terpinggirkan. Banyak menteri hanya hadir secara protokoler, ikut rapat, mengeluarkan pernyataan pers, tetapi tidak punya peran substantif dalam pengambilan kebijakan strategis.
Contohnya:
- Dalam urusan pandemi, Menteri Kesehatan kehilangan sentralitas ketika koordinasi dan eksekusi strategi nasional berada di bawah kendali Luhut.
- Dalam hilirisasi nikel dan transisi energi, Menteri ESDM dan Menteri Perindustrian nyaris tak terdengar, karena seluruh narasi dikuasai oleh Luhut sebagai juru bicara kebijakan tambang nasional.
- Bahkan Menko Perekonomian, yang seharusnya menjadi koordinator sektor investasi dan perdagangan, kalah pengaruh dalam negosiasi dengan investor Tiongkok.
Menurut Prof. Bivitri Susanti, pendiri Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, “Fungsi kementerian menjadi lumpuh ketika pengambilan keputusan tidak lagi mengikuti struktur birokrasi, tetapi mengikuti jejaring kekuasaan informal.” Ia menambahkan bahwa kabinet yang tidak berjalan kolektif akan melahirkan rezim delegatif, bukan sistem presidensial modern.