2. Merusak Etika Birokrasi
Birokrasi dalam negara hukum dibangun di atas asas legalitas, proseduralisme, dan profesionalisme. Ketika keputusan negara ditentukan bukan oleh sistem, tetapi oleh kedekatan dengan seorang figur, maka etika birokrasi rusak dari dalam.
Hal ini menciptakan budaya oportunisme, di mana pejabat dan birokrat lebih sibuk mencari jalan untuk “merapat ke lingkaran Luhut” daripada menjalankan tugas institusionalnya secara serius. Orientasi kerja menjadi loyalitas personal, bukan pelayanan publik. Akibatnya, kontrol publik menjadi lemah, karena keputusan diambil tanpa transparansi, dan masyarakat tidak tahu siapa yang bertanggung jawab terhadap apa.
Prof. Agus Pramusinto, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), pernah menyampaikan bahwa birokrasi yang dikendalikan oleh loyalitas personal akan menciptakan aparatur yang manipulatif dan pasif. “Birokrat akan lebih rajin mencari perlindungan politik ketimbang bekerja untuk rakyat,” ujarnya dalam satu forum nasional ASN 2022.
3. Pendidikan Demokrasi Tercederai
Salah satu fungsi vital dari sistem pemerintahan adalah mendidik rakyat tentang bagaimana negara bekerja secara institusional. Ketika sistem berjalan baik, rakyat belajar bahwa negara dijalankan oleh aturan, oleh prosedur, oleh mekanisme yang bisa dipertanggungjawabkan.
Namun dalam konteks dominasi figur seperti Luhut, rakyat disuguhi wajah negara yang personalistik. Mereka melihat keputusan penting selalu diambil oleh satu orang, dan nama-nama menteri lain nyaris tidak pernah terdengar. Hal ini berbahaya bagi jangka panjang, karena menumbuhkan budaya politik patronase dan kultus tokoh, bukan penghormatan terhadap institusi.
Dr. Yance Arizona, pakar hukum tata negara UGM, menyebutnya sebagai bentuk “figur sentralistik dalam demokrasi formil”. Menurutnya, demokrasi tanpa sistem hanya akan menciptakan negara yang rentan korupsi dan ketergantungan pada elite. “Ini berisiko membonsai demokrasi itu sendiri,” ujarnya dalam diskusi di Pusat Studi Hukum Konstitusi.
Dampak Lanjut: Negara Tanpa Arah Sistemik
Ketika kementerian menjadi simbolik, etika birokrasi tergerus, dan pendidikan demokrasi terputus, maka negara kehilangan arah sistemik. Kebijakan berubah tergantung selera tokoh dominan. Lembaga negara hanya menjadi panggung, sementara aktor utamanya adalah satu sosok di balik layar yang tak pernah dipilih rakyat secara langsung, tetapi menjalankan peran eksekutif dan legislatif sekaligus.
Situasi seperti ini pernah terjadi dalam sejarah Indonesia, dan berakhir dengan krisis kepercayaan, konflik elit, dan hilangnya kendali terhadap agenda pembangunan nasional. Kita tak boleh mengulangi kesalahan itu.