PAPUA DAN PENUNDAAN KEMERDEKAAN : WARISAN KONFERENSI MEJA BUNDAR 1949
(Tulisan ini merupakan Seri 1 dari 5 Seri Tulisan Saya tentang : Papua, Sebagai Suatu Bangsa dan Mimpi-Mimpinya)
Oleh : Rudi Sinaba, SH., MH.
I. Pendahuluan
Konflik Papua merupakan salah satu luka sejarah yang terus menganga dalam perjalanan Republik Indonesia. Sejak wilayah ini secara resmi diintegrasikan ke dalam Republik Indonesia pada tahun 1963 melalui mekanisme yang disebut sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), Papua tidak pernah benar-benar hening dari letupan-letupan ketegangan politik, pertentangan kultural, dan friksi kekuasaan. Di satu sisi, pemerintah Indonesia mengklaim Papua sebagai bagian sah dari wilayah kedaulatannya berdasarkan warisan Hindia Belanda dan hasil perundingan internasional. Di sisi lain, sebagian masyarakat Papua menolak integrasi tersebut, dan menganggap bahwa proses penyatuan itu sarat dengan rekayasa politik dan pengingkaran atas hak mereka untuk menentukan nasib sendiri.
Ketidakpuasan terhadap status politik Papua memunculkan gerakan separatisme yang berkembang hingga hari ini. Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan berbagai faksi pro-kemerdekaan terus menuntut lepasnya Papua dari Indonesia, dengan dukungan dari diaspora Papua dan sebagian masyarakat internasional. Konflik ini tak hanya berlangsung dalam bentuk kekerasan bersenjata, tetapi juga dalam ranah diplomasi internasional, kebijakan pembangunan, dan diskursus identitas. Situasi ini diperparah oleh laporan-laporan pelanggaran hak asasi manusia, ketimpangan pembangunan, dan eksklusi sosial yang dialami oleh orang asli Papua.
Namun demikian, konflik ini bukanlah fenomena yang muncul secara tiba-tiba. Ia merupakan warisan sejarah yang panjang, berakar dari era kolonialisme, transisi kekuasaan pasca-Perang Dunia II, dan manuver-manuver diplomatik negara-negara besar pada masa Perang Dingin. Dalam konteks ini, penyelesaian masalah Papua tidak dapat dilepaskan dari pemahaman atas akar sejarahnya, dan salah satu titik penting dalam sejarah tersebut adalah Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949.
Diskusi publik maupun akademik mengenai Papua sering kali berfokus pada peristiwa Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969, yang dianggap cacat prosedur dan menjadi titik awal konflik antara Jakarta dan rakyat Papua. Akan tetapi, pertanyaan mendasar yang lebih kritis perlu diajukan: Apakah konflik Papua benar-benar bermula dari Pepera, ataukah masalah tersebut telah tertanam sejak jauh sebelumnya, terutama dalam peristiwa Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949 yang menjadi tonggak pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda?
Pertanyaan ini penting, karena KMB bukan hanya menyelesaikan konflik bersenjata antara Indonesia dan Belanda, tetapi juga mewariskan masalah-masalah yang belum terselesaikan, termasuk soal status Irian Barat (sebutan Papua pada masa itu). Pengabaian terhadap suara rakyat Papua dalam forum-forum internasional seperti KMB, serta kompromi politik antara elite kolonial dan nasionalis pada masa itu, menjadi penanda bahwa persoalan Papua sejak awal merupakan hasil dari proses politik yang elitis dan eksklusif.
Dengan menggali lebih dalam konteks politik dan diplomasi yang mengelilingi KMB dan perkembangan sesudahnya hingga awal 1960-an, kita dapat memahami bahwa konflik Papua tidak bisa dipandang sebagai kegagalan satu momen (seperti Pepera), tetapi sebagai konsekuensi dari serangkaian keputusan politik yang menunda pemenuhan hak dasar rakyat Papua.
Tulisan ini bertujuan untuk menelusuri akar persoalan Papua dari Konferensi Meja Bundar tahun 1949 hingga awal dekade 1960-an, dengan pendekatan historis dan kritis. Dengan melihat bagaimana isu Papua diposisikan dalam perundingan-perundingan internasional, bagaimana peran Belanda dan Indonesia dalam merumuskan nasib wilayah ini, serta bagaimana negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan institusi global seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa ikut membentuk arah sejarah Papua, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih utuh dan mendalam.
Lebih jauh, tulisan ini ingin menunjukkan bahwa penundaan penyelesaian status Papua dalam KMB adalah titik awal dari krisis representasi dan legitimasi yang berlangsung hingga kini. Dengan demikian, narasi yang menyederhanakan konflik Papua sebagai sekadar "gerakan separatis" atau "masalah keamanan" harus direvisi melalui kajian sejarah yang lebih objektif dan adil.
II. Perjanjian Meja Bundar (KMB) 1949 dan Status Papua
A. Konteks Historis: Jalan Menuju Meja Bundar
Perjanjian Meja Bundar (KMB) yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda, pada 23 Agustus hingga 2 November 1949, merupakan tonggak penting dalam proses dekolonisasi Indonesia. KMB merupakan kelanjutan dari dua perundingan sebelumnya, Linggarjati (1947) dan Renville (1948), yang gagal menyelesaikan konflik bersenjata antara Republik Indonesia dan pemerintah kolonial Belanda. Di tengah tekanan internasional yang semakin kuat, terutama dari Amerika Serikat dan negara-negara pasca-perang yang mendorong dekolonisasi, Belanda akhirnya bersedia menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia dalam suatu forum formal dan mengikat secara hukum.
Namun, yang sering kali luput dari pembacaan umum adalah bahwa KMB bukan hanya forum rekonsiliasi, melainkan juga arena tarik-menarik kepentingan. Dalam perundingan ini, Republik Indonesia diwakili oleh delegasi yang dipimpin oleh Mohammad Hatta, sedangkan pihak Belanda dipimpin oleh van Maarseveen. Selain itu, hadir pula perwakilan dari Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), yakni kelompok federalis pro-Belanda yang terdiri dari negara-negara bagian ciptaan Belanda di wilayah Indonesia. Delegasi BFO ini nantinya akan memperkuat posisi Belanda dalam memperjuangkan kepentingannya, termasuk soal Irian Barat.
B. Isi Pokok KMB: Pengakuan Kedaulatan dan Penundaan Status Papua
KMB menghasilkan beberapa keputusan penting. Salah satu yang paling signifikan adalah pengakuan Belanda atas kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, efektif per 27 Desember 1949. Selain itu, dibentuk pula Uni Indonesia-Belanda, dengan Ratu Belanda sebagai simbol ikatan antara kedua negara, serta penjaminan hak-hak warga Belanda dan perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia.
Namun, terdapat satu klausul penting yang justru menjadi akar dari masalah Papua, yakni penundaan penyelesaian status Irian Barat (Papua). Dalam dokumen perjanjian, disepakati bahwa "masalah Irian Barat akan dibicarakan lebih lanjut antara Indonesia dan Belanda dalam waktu satu tahun setelah pengakuan kedaulatan." Secara teknis, wilayah ini tetap berada di bawah administrasi Belanda hingga pembicaraan lebih lanjut dapat dilaksanakan.
Penundaan ini bukan sekadar masalah administratif, melainkan pengingkaran atas prinsip keutuhan wilayah Indonesia sebagaimana yang dinyatakan dalam Proklamasi 17 Agustus 1945. Bagi Indonesia, seluruh wilayah bekas Hindia Belanda, termasuk Irian Barat, adalah bagian integral dari negara yang baru diproklamasikan. Sementara itu, bagi Belanda, Irian Barat merupakan wilayah yang secara etnografis, geografis, dan kultural berbeda dengan wilayah-wilayah lain di Hindia Belanda, dan karenanya tidak secara otomatis masuk ke dalam entitas negara Indonesia.
C. Argumentasi Belanda: Papua sebagai Wilayah yang "Berbeda"
Salah satu argumen utama Belanda dalam mempertahankan kontrol atas Irian Barat adalah bahwa penduduk asli Papua secara etnis dan budaya berbeda dengan penduduk di wilayah lain di Indonesia. Belanda memandang bahwa masyarakat Papua lebih dekat secara antropologis dengan bangsa Melanesia di Pasifik Selatan, sehingga tidak memiliki keterkaitan historis atau identitas nasional yang sama dengan bangsa Indonesia. Argumentasi ini memperkuat narasi kolonial klasik yang membedakan satu wilayah dari yang lain demi mempertahankan kekuasaan.
Di balik dalih kultural tersebut, tersimpan pula kepentingan ekonomi dan geopolitik. Wilayah Papua menyimpan potensi sumber daya alam yang luar biasa, meskipun saat itu belum sepenuhnya dieksplorasi. Selain itu, dengan mempertahankan Papua, Belanda berharap dapat terus menjaga kehadirannya di kawasan Pasifik sebagai bagian dari kekuatan kolonial global. Bahkan dalam beberapa catatan internal Belanda, terdapat keinginan untuk menjadikan Papua sebagai wilayah protektorat atau negara tersendiri di bawah pengaruh Belanda, terpisah dari Indonesia.
D. Sikap Indonesia: Papua sebagai Bagian Tak Terpisahkan dari Republik
Bagi pemerintah Indonesia, penundaan status Irian Barat merupakan bentuk kompromi yang sangat pahit. Meskipun Indonesia berhasil memperoleh pengakuan kedaulatan, perundingan KMB dinilai tidak sepenuhnya memenuhi cita-cita Proklamasi 1945. Mohammad Hatta dan delegasi Indonesia kala itu menyadari bahwa mempertahankan prinsip keutuhan wilayah harus berhadapan dengan realitas politik internasional, terutama tekanan dari pihak Belanda dan keengganan sebagian negara Barat untuk melepas pengaruh kolonialnya di Asia.
Namun demikian, posisi resmi Indonesia tetap tegas: Papua adalah bagian dari wilayah yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, yakni bekas Hindia Belanda sebagai satu kesatuan wilayah. Argumen ini diperkuat oleh pasal-pasal dalam Konstitusi RIS dan kemudian UUD 1945 yang menyebutkan bahwa wilayah Indonesia adalah wilayah bekas jajahan Belanda. Pandangan ini juga mendapat dukungan dari sebagian besar negara-negara Asia dan Afrika yang tengah berjuang mengakhiri kolonialisme.
E. Konsekuensi Penundaan: Sebuah "Bom Waktu" Diplomatik
Keputusan untuk menunda penyelesaian status Papua dalam KMB ibarat menyimpan bom waktu diplomatik yang suatu saat akan meledak. Ketidaktegasan dalam menyelesaikan status wilayah ini telah membuka celah bagi munculnya klaim-klaim ganda, baik dari Indonesia maupun Belanda, yang terus bertabrakan dalam forum-forum bilateral maupun internasional. Bahkan, penundaan ini dapat dibaca sebagai bentuk kegagalan KMB dalam mewujudkan dekolonisasi yang adil dan tuntas.
Lebih jauh, keputusan tersebut menunjukkan bahwa nasib rakyat Papua tidak menjadi subjek pembicaraan dalam forum internasional yang menentukan masa depan mereka. Mereka tidak dilibatkan dalam perundingan, tidak dimintai pendapat, dan tidak memiliki wakil yang bisa berbicara atas nama mereka. Dengan kata lain, Papua sejak awal telah menjadi objek dalam skenario politik antara dua kekuatan kolonial dan nasionalis yang saling berebut legitimasi.
III. Perkembangan Politik Pasca-KMB (1950--1960)
A. Gagalnya Perundingan Bilateral Indonesia--Belanda
Pasca-KMB, harapan awal bahwa status Irian Barat dapat diselesaikan secara damai dalam kurun waktu satu tahun segera kandas. Beberapa kali perundingan bilateral yang diadakan antara Indonesia dan Belanda sepanjang awal 1950-an tidak menghasilkan kemajuan berarti. Belanda tetap pada posisinya: Irian Barat tidak termasuk wilayah Indonesia. Bahkan, dalam berbagai forum internasional, termasuk di PBB, Belanda semakin aktif mempromosikan gagasan bahwa rakyat Papua berhak untuk menentukan nasib sendiri (self-determination) di luar entitas Indonesia.
Sebaliknya, Indonesia merasa dikhianati oleh sikap Belanda yang tidak menunjukkan itikad baik. Dalam pidatonya di berbagai forum nasional dan internasional, para pemimpin Indonesia, termasuk Presiden Soekarno, menegaskan bahwa masalah Papua bukan semata isu wilayah, tetapi juga soal prinsip dekolonisasi yang sejati. Dalam pandangan Indonesia, Belanda tidak konsisten dalam menerapkan prinsip-prinsip dekolonisasi karena tetap ingin mempertahankan pengaruh kolonialnya melalui Papua.
Situasi ini menimbulkan ketegangan diplomatik yang terus meningkat. Indonesia mulai memobilisasi diplomasi aktif ke negara-negara non-Blok dan Asia-Afrika, dengan mengangkat isu Irian Barat sebagai kelanjutan dari perjuangan antikolonialisme. Forum Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955 menjadi momen penting di mana dukungan terhadap posisi Indonesia dalam masalah Papua semakin menguat dari negara-negara yang baru merdeka.
B. Agresi Diplomatik dan Kampanye Internasional Indonesia
Merespons kegagalan perundingan, Indonesia kemudian mengubah strategi dari pendekatan damai ke arah kampanye diplomatik agresif. Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soekarno mulai menggunakan berbagai forum internasional, terutama Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk mendesak penyelesaian cepat dan tuntas soal Irian Barat.
Kampanye ini tidak sekadar dalam bentuk retorika politik, tetapi juga dibarengi dengan pendekatan kepada negara-negara sahabat di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Dalam sidang-sidang Majelis Umum PBB, delegasi Indonesia aktif mengangkat isu Papua sebagai wilayah yang masih terjajah, dan bahwa Belanda telah melanggar semangat KMB. Dukungan dari negara-negara seperti India, Mesir, Ghana, dan Yugoslavia memperkuat posisi moral Indonesia dalam menekan Belanda di arena global.
Namun demikian, tidak semua negara Barat menyetujui pandangan Indonesia. Amerika Serikat dan sebagian negara Eropa tetap bersikap hati-hati. Meskipun mendukung dekolonisasi secara umum, mereka juga tidak ingin kehilangan sekutu strategis seperti Belanda dalam konteks Perang Dingin yang sedang memanas. Inilah salah satu alasan mengapa upaya Indonesia di PBB sering kali mentok dan gagal mendapatkan suara mayoritas.
C. Belanda dan Proyek "Papua Merdeka": Pembentukan Dewan Papua 1961
Sementara Indonesia meningkatkan tekanan diplomatik, Belanda justru melangkah lebih jauh dalam upaya memisahkan Papua dari Indonesia. Pada akhir 1950-an hingga awal 1960-an, pemerintah Belanda mulai merancang transisi kemerdekaan untuk Papua. Salah satu langkah kuncinya adalah pembentukan Dewan Papua (Nieuw Guinea Raad) pada tahun 1961.
Dewan ini terdiri dari perwakilan rakyat Papua, yang sebagian besar dipilih dan sebagian lainnya ditunjuk oleh pemerintah Belanda. Meskipun terlihat seperti proses demokratis, dalam kenyataannya pembentukan Dewan Papua ini lebih merupakan langkah politik Belanda untuk membentuk pemerintahan transisi menuju kemerdekaan dalam kerangka "nasionalisme Papua" yang dibina dari luar.
Pada tanggal 1 Desember 1961, Dewan Papua mengadopsi simbol-simbol kenegaraan seperti bendera Bintang Kejora dan lagu kebangsaan "Hai Tanahku Papua". Peristiwa ini menimbulkan reaksi keras dari Indonesia. Bagi Jakarta, tindakan Belanda ini merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap hasil KMB dan bentuk baru kolonialisme terselubung yang ingin menciptakan negara boneka.
D. Reaksi Indonesia: Pembentukan Komando Mandala dan Ancaman Militer
Indonesia segera merespons langkah Belanda dengan pendekatan militer. Pada 19 Desember 1961, Presiden Soekarno secara resmi membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Barat, sebuah struktur militer khusus yang bertugas merencanakan dan melaksanakan operasi pembebasan Papua dari tangan Belanda. Jenderal Mayor Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Mandala.
Pembentukan Komando Mandala ini menunjukkan bahwa Indonesia sudah meninggalkan pendekatan diplomatik murni dan bersiap menggunakan kekuatan bersenjata. Operasi-operasi infiltrasi mulai dilakukan ke wilayah Papua, meskipun berskala kecil dan lebih bersifat simbolis. Operasi Trikora (Tri Komando Rakyat) menjadi deklarasi perang politik terhadap keberadaan Belanda di Papua. Dalam pidatonya, Soekarno menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk "mengganyang" Belanda dari bumi Papua.
Tindakan ini memicu ketegangan militer di wilayah Pasifik. Armada Belanda mulai memperkuat posisinya di perairan sekitar Papua, sementara Indonesia memobilisasi kekuatan angkatan laut dan udara. Dunia internasional pun mulai mengkhawatirkan potensi pecahnya perang terbuka antara Indonesia dan Belanda, yang berisiko memperbesar konflik global di tengah ketegangan Blok Barat dan Timur.
IV. Intervensi PBB dan Peran Amerika Serikat
A. Meningkatnya Tensi Militer dan Kekhawatiran Internasional
Menjelang awal tahun 1962, ketegangan antara Indonesia dan Belanda atas wilayah Papua mencapai titik genting. Operasi-operasi infiltrasi militer Indonesia yang dimulai sejak akhir 1961 menandai pergeseran strategi dari diplomasi menjadi konfrontasi bersenjata. Meski belum berujung pada perang terbuka berskala penuh, pergerakan pasukan di kedua belah pihak menunjukkan kesiapan untuk berkonflik secara frontal. Dalam konteks geopolitik global yang sedang diliputi suasana Perang Dingin, potensi konflik ini memicu kekhawatiran besar di kalangan masyarakat internasional.
Para pemimpin dunia, terutama dari negara-negara besar, mulai melihat bahwa konflik Indonesia, Belanda bukan sekadar pertikaian bilateral, melainkan bisa menjadi pintu masuk intervensi kekuatan asing di Asia Tenggara. Ketegangan militer ini menimbulkan kekhawatiran akan meningkatnya pengaruh Blok Timur, terutama Uni Soviet, yang pada saat itu telah mulai memperkuat dukungan militer dan logistik kepada Indonesia. Dukungan Uni Soviet terhadap Indonesia dalam bentuk penyediaan alutsista dan pelatihan militer menjadi sinyal kuat bahwa pertikaian Papua berpotensi menjadi bagian dari rivalitas ideologis global.
Dalam kerangka ini, Amerika Serikat mulai mengambil peran aktif. AS khawatir bahwa kegagalan menyelesaikan konflik ini secara damai akan mendorong Indonesia semakin jauh ke dalam pengaruh komunis. Pemerintahan Presiden John F. Kennedy, yang memiliki orientasi strategis di kawasan Asia, Pasifik, melihat bahwa mempertahankan Indonesia dalam orbit non-komunis jauh lebih penting ketimbang menjaga Belanda sebagai sekutu kecil di Eropa.
B. Peran John F. Kennedy dan Tekanan terhadap Belanda
Keterlibatan Presiden Kennedy menjadi titik balik dalam penyelesaian konflik Papua. Sebagai pemimpin muda yang berorientasi progresif dalam kebijakan luar negeri, Kennedy merasa perlu melakukan pendekatan langsung kepada Belanda dan Indonesia untuk menghindari eskalasi militer yang lebih luas. AS memposisikan dirinya sebagai mediator yang netral, namun jelas memiliki kepentingan menjaga stabilitas kawasan dan mencegah komunisme mengakar lebih dalam di Asia Tenggara.
Melalui jalur diplomasi tertutup dan terbuka, Kennedy memberikan tekanan kepada pemerintah Belanda untuk segera menyepakati penyelesaian damai. Beberapa dokumen diplomatik AS yang kemudian dideklasifikasi menunjukkan bahwa Washington memperingatkan Den Haag bahwa ketegaran mempertahankan Papua akan merugikan posisi Belanda secara strategis dan ekonomi. Di sisi lain, Kennedy juga melakukan pendekatan langsung kepada Presiden Soekarno, menawarkan solusi politik dengan imbalan agar Indonesia menghindari opsi militer total dan menjaga keseimbangan ideologi di dalam negeri.
Tekanan ini pada akhirnya memaksa Belanda untuk mempertimbangkan jalur kompromi. Pada bulan Maret 1962, dengan dukungan PBB dan tekanan AS, Indonesia dan Belanda memulai perundingan di bawah pengawasan mediasi internasional yang digagas oleh diplomat Amerika, Ellsworth Bunker.
C. Perjanjian New York 1962: Kompromi tanpa Suara Rakyat Papua
Hasil dari diplomasi intensif ini adalah New York Agreement yang ditandatangani pada 15 Agustus 1962. Perjanjian ini menjadi tonggak penting dalam penyelesaian konflik Papua, namun juga mengandung sejumlah kontroversi. Dalam perjanjian tersebut, Belanda setuju menyerahkan administrasi wilayah Papua kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), dan selanjutnya diserahkan kepada Indonesia pada 1 Mei 1963.
Salah satu poin penting dalam New York Agreement adalah janji bahwa rakyat Papua akan diberikan kesempatan untuk menentukan nasib sendiri melalui mekanisme yang disebut Act of Free Choice (Pepera), yang harus diselenggarakan sebelum akhir 1969. Namun, dalam pelaksanaannya, perjanjian ini tidak memberikan ruang partisipasi bagi rakyat Papua dalam proses perundingan maupun penentuan bentuk masa depan wilayah mereka.
New York Agreement sangat jelas merupakan hasil kompromi antara dua negara berdaulat, Indonesia dan Belanda, dengan intervensi kuat dari kekuatan besar dunia, terutama Amerika Serikat. Rakyat Papua tidak dilibatkan dalam proses penyusunan perjanjian, tidak ada perwakilan mereka dalam forum perundingan, dan tak satu pun klausul menegaskan peran aktif masyarakat adat Papua dalam proses penentuan nasib sendiri.
D. Penyerahan Kekuasaan dan Awal Integrasi Bermasalah
Setelah UNTEA mengambil alih kekuasaan administratif dari Belanda, otoritas tersebut menyerahkannya kepada Indonesia pada Mei 1963. Sejak saat itu, Papua secara de facto berada di bawah kendali Indonesia. Namun, integrasi ini tidak serta-merta diterima oleh seluruh masyarakat Papua. Sebagian masyarakat menyambut Indonesia dengan harapan pembangunan dan keadilan, tetapi sebagian lain merasa telah dikhianati oleh proses yang tidak melibatkan mereka.
Selama masa transisi ini, terjadi perubahan drastis dalam struktur sosial dan politik lokal. Banyak elit Papua yang sebelumnya disiapkan oleh Belanda untuk proses kemerdekaan merasa kehilangan tempat dan suara dalam tatanan baru di bawah administrasi Indonesia. Sentimen ini menjadi benih ketidakpuasan yang berakar panjang.
Di sisi lain, Indonesia menghadapi tantangan besar untuk membangun infrastruktur, institusi, dan integrasi sosial yang mampu merekatkan Papua ke dalam bingkai nasional. Sayangnya, pendekatan militeristik dan birokratis yang ditempuh dalam dekade-dekade awal integrasi lebih sering memperuncing jarak kultural dan psikologis antara Jakarta dan Papua. Akibatnya, warisan sejarah dari perjanjian yang dipaksakan ini terus membayangi hubungan antara Papua dan pemerintah pusat hingga hari ini.
V. Kritik Historis
A. Pengabaian Aspirasi Rakyat Papua Sejak KMB 1949
Salah satu kritik historis paling mendasar terhadap proses integrasi Papua ke dalam wilayah Indonesia adalah ketiadaan ruang bagi rakyat Papua untuk menyuarakan kehendaknya sejak awal. Hal ini bermula dari Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, yang seharusnya menjadi titik akhir konflik kolonial Belanda, Indonesia. Namun, alih-alih menyelesaikan secara tuntas seluruh wilayah bekas jajahan Hindia Belanda, KMB justru menunda penyelesaian status Irian Barat (Papua) dan menyerahkannya pada mekanisme perundingan lanjutan antara Indonesia dan Belanda.
Keputusan untuk menunda status Papua merupakan kompromi politis antara dua negara kolonial, Belanda dan Indonesia, tanpa melibatkan masyarakat Papua sebagai subjek. Dalam perspektif teori dekolonisasi, ini merupakan bentuk lanjutan dari kolonialisme, yaitu kolonialisme internal, sebagaimana dikemukakan oleh Pablo Gonzlez Casanova. Kolonialisme internal merujuk pada dominasi suatu kelompok dalam negara merdeka terhadap kelompok lain secara ekonomi, politik, dan budaya, yang sering terjadi dalam proses pembentukan negara-bangsa pascakolonial.
Dengan kata lain, keputusan menunda status Papua sejak KMB telah menanamkan benih konflik jangka panjang karena masyarakat Papua dikeluarkan dari proses dekolonisasi, padahal mereka adalah bagian dari masyarakat yang juga hidup di bawah kolonialisme Belanda. Hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip hak menentukan nasib sendiri (right to self-determination) yang ditegaskan dalam Piagam PBB (Pasal 1 ayat 2 dan Pasal 55).
B. KMB: Menunda, Bukan Menyelesaikan Masalah Papua
Sejumlah sejarawan dan ilmuwan politik menganggap bahwa KMB adalah perundingan yang menyisakan banyak masalah struktural. Sejarawan Indonesia, George McTurnan Kahin, dalam bukunya Nationalism and Revolution in Indonesia (1952), mengkritik keras keputusan KMB karena lebih menekankan pada stabilitas politik Belanda daripada pembebasan penuh Indonesia dari kolonialisme. Ia menyebut bahwa penundaan status Irian Barat adalah "bom waktu" yang kelak akan meledak karena tidak menjawab akar masalah.
Begitu pula menurut ahli hukum internasional, Richard Chauvel, yang dalam berbagai tulisannya menekankan bahwa Papua menjadi korban perundingan kekuasaan antara Belanda dan Indonesia. Ia menyebut bahwa sejak awal, Papua hanya dilihat sebagai objek teritorial, bukan sebagai komunitas politik dengan kehendak kolektif. Dalam tulisannya bersama Ikrar Nusa Bhakti (2004), Chauvel menekankan bahwa sejak 1949 tidak ada upaya serius untuk mendengar atau melibatkan rakyat Papua dalam pembicaraan internasional menyangkut masa depan mereka.
Sebagian besar kritik historis ini menyoroti bahwa KMB lebih merupakan kesepakatan antara dua elite kolonial, dengan Indonesia mengambil posisi sebagai penerus administrasi kolonial Belanda, bukannya sebagai pembebas seluruh rakyat tertindas. Perspektif ini semakin kuat bila melihat bahwa pendekatan Indonesia pasca-1963 terhadap Papua tidak berbasis pada rekonsiliasi dan penghargaan budaya lokal, melainkan pendekatan integrasi paksa melalui militer dan birokrasi.
C. Teori Dekolonisasi dan Nasionalisme Negara-Bangsa
Dalam konteks teori pascakolonial, kritik terhadap proses integrasi Papua juga bisa dilihat dari gagasan Frantz Fanon, khususnya dalam karyanya The Wretched of the Earth (1961). Fanon menjelaskan bahwa dalam banyak kasus dekolonisasi di dunia ketiga, elit nasional yang menggantikan posisi kolonial justru mengulang struktur kekuasaan kolonial dengan wajah baru. Fanon menyebut hal ini sebagai "neocolonialism by native elites", yaitu ketika negara yang baru merdeka menguasai wilayah dan rakyat bekas koloni lainnya tanpa memberi mereka hak politik penuh.
Kasus Papua menunjukkan pola ini dengan sangat jelas. Integrasi wilayah ini tidak dibarengi dengan proses kultural yang sejajar dan demokratis. Negara pusat, dalam hal ini Indonesia, menempatkan Papua sebagai wilayah terluar yang harus dikendalikan, bukan sebagai bagian dari komunitas kebangsaan yang setara. Fanon menyebut bahwa bentuk nasionalisme semacam ini, yakni nasionalisme yang tidak membebaskan, hanya melahirkan ketegangan berkepanjangan dan resistensi.
Di sisi lain, teori Imagined Communities dari Benedict Anderson menekankan bahwa bangsa adalah konstruksi sosial yang dibangun melalui narasi dan simbol bersama. Dalam konteks ini, masyarakat Papua tidak pernah merasa menjadi bagian dari narasi nasional Indonesia yang dibentuk oleh elite politik di Jawa. Ketika suatu komunitas tidak merasa menjadi bagian dari "komunitas terbayang" nasional, maka integrasi akan berjalan secara paksa dan berujung pada kekerasan struktural.
D. Dominasi Elite Negara-Negara Besar dan Politik Realisme
Selain itu, keterlibatan negara-negara besar dalam proses penyelesaian Papua memperkuat asumsi bahwa masa depan Papua lebih ditentukan oleh kepentingan geopolitik internasional ketimbang prinsip-prinsip keadilan. Dalam skema perjanjian New York (1962), jelas bahwa Amerika Serikat memiliki kepentingan untuk mencegah Indonesia jatuh ke dalam pengaruh komunis. Oleh karena itu, tekanan kepada Belanda dan pemberian dukungan politik kepada Indonesia dilakukan bukan untuk memenuhi aspirasi rakyat Papua, melainkan untuk stabilitas kawasan dalam kerangka politik realisme internasional.
Teori realisme politik, seperti yang dijelaskan oleh Hans Morgenthau, menekankan bahwa negara bertindak berdasarkan kepentingan kekuasaan dan keamanan, bukan nilai moral universal. Dalam kasus Papua, semua aktor, Indonesia, Belanda, dan Amerika Serikat, bertindak sesuai kepentingan strategis masing-masing, sementara rakyat Papua sendiri terpinggirkan dari proses perundingan. Perjanjian New York (1962), yang menjadi dasar pelaksanaan Pepera, dibuat tanpa konsultasi dengan masyarakat Papua, dan tanpa persetujuan mereka.
Akhirnya, pelaksanaan Pepera 1969 yang hanya melibatkan 1.026 orang dalam proses yang disebut sebagai "musyawarah" menjadi simbol paling telanjang dari pengingkaran prinsip-prinsip demokrasi. Dalam laporan pengamat internasional, termasuk yang dibahas dalam dokumen "Decolonization Report of the UN General Assembly" tahun 1969, disebutkan adanya intimidasi terhadap perwakilan rakyat Papua yang dipilih secara tidak bebas. Banyak sejarawan, termasuk Carmel Budiardjo dan Liem Soei Liong dalam buku West Papua: The Obliteration of a People (1988), menganggap Pepera sebagai "manipulasi politik yang didukung internasional".
E. Warisan Konflik Akibat Proses Sejarah yang Timpang
Dari seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa persoalan Papua bukan semata-mata soal separatisme atau keinginan merdeka, melainkan hasil akumulasi dari proses sejarah yang timpang dan manipulatif, dimulai sejak KMB. Negara-negara besar menggunakan pendekatan realis, sementara Indonesia menerapkan pendekatan integrasi paksa, dan rakyat Papua tidak pernah diberi ruang sebagai subjek politik.
Sampai hari ini, narasi yang dibangun oleh negara Indonesia tetap didasarkan pada "warisan KMB" bahwa Papua adalah bagian sah dari wilayah Indonesia. Namun, narasi ini tidak berhasil menghapus luka sejarah yang mendalam dan tuntutan keadilan dari sebagian masyarakat Papua. Rasa keterasingan dan penindasan yang berlangsung selama puluhan tahun tidak bisa disembuhkan hanya dengan pendekatan pembangunan ekonomi tanpa rekonsiliasi historis yang sejati.
VI. Penutup
Sejarah integrasi Papua ke dalam Republik Indonesia bukanlah cerita tunggal tentang kemerdekaan yang tuntas, melainkan kisah kompleks yang dipenuhi kompromi diplomatik, pengabaian aspirasi lokal, dan hegemoni narasi negara. Dimulai dari Konferensi Meja Bundar 1949 hingga Penentuan Pendapat Rakyat 1969, proses ini memperlihatkan bahwa Papua lebih sering menjadi objek perundingan politik internasional ketimbang subjek dengan kehendak politik yang diakui dan dihormati.
Kini, setelah lebih dari setengah abad berlalu, luka sejarah itu belum juga sembuh. Konflik terus membara, korban terus berjatuhan, dan jurang ketidak percayaan antara negara dan masyarakat Papua makin melebar. Dalam situasi ini, pertanyaan-pertanyaan kritis pun tak bisa dihindari:
Apakah Indonesia benar-benar telah merdeka bagi semua, termasuk bagi rakyat Papua?
Apakah nasionalisme yang kita anut selama ini telah cukup inklusif untuk mengakomodasi keragaman sejarah, budaya, dan aspirasi politik masyarakat Papua?
Jika Papua sejak awal merasa tidak pernah dilibatkan, lalu atas dasar moral apa kita menuntut mereka untuk setia?
Pertanyaan-pertanyaan ini bukan untuk melemahkan keutuhan bangsa, melainkan untuk menyadarkan bahwa keutuhan sejati hanya bisa dicapai lewat keadilan historis, pengakuan atas hak menentukan nasib sendiri, dan keberanian untuk mengoreksi narasi dominan yang dibangun oleh negara. Tanpa itu semua, Papua akan terus menjadi luka yang tak kunjung sembuh, sekaligus cermin dari kegagalan kita dalam membangun bangsa yang benar-benar merdeka, adil, dan bermartabat.
(Tulisan Selanjutnya Seri 2, Judul : New York Agreement: Diplomasi Global tanpa Suara Papua)
Daftar sumber dan literatur utama yang digunakan dalam penulisan artikel "Papua dan Penundaan Kemerdekaan: Warisan Meja Bundar 1949":
Buku dan Jurnal Akademik:
1. Drooglever, Pieter. Een Daad van Vrije Keuze: De Papoea's van Nederlands-Nieuw-Guinea en de Grenzen van het Zelfbeschikkingsrecht, Amsterdam University Press, 2005.
(Terjemahan Indonesia: "Papua: Sebuah Pilihan Bebas") --- buku ini dianggap paling komprehensif mengenai sejarah Papua dari perspektif Belanda.
2. Saltford, John. The United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua, 1962--1969: The Anatomy of Betrayal, RoutledgeCurzon, 2003.
--- menelaah peran PBB dalam proses New York Agreement dan Pepera.
3. Chauvel, Richard & Ikrar Nusa Bhakti. The Papua Conflict: Jakarta's Perceptions and Policies, East-West Center Washington, Policy Studies No. 5, 2004.
--- memberikan gambaran persepsi Jakarta terhadap Papua dan respon kebijakan pemerintah Indonesia.
4. Budiardjo, Carmel & Liem Soei Liong. West Papua: The Obliteration of a People, TAPOL, 1988.
--- mengangkat pelanggaran HAM dan aspek politik Papua dari sudut pandang aktivis hak asasi.
5. Rees, Philip. Biographical Dictionary of the Extreme Right Since 1890, Simon and Schuster, 1990.
--- digunakan sebagai sumber tambahan untuk memahami tokoh-tokoh kolonial dalam konteks pascakolonialisme.
Dokumen dan Arsip Historis:
1. Perjanjian Meja Bundar (KMB), 1949 --- teks perjanjian asli dan interpretasi resminya.
2. New York Agreement (UN General Assembly, 15 August 1962) --- teks resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa.
3. Resolusi Majelis Umum PBB No. 2504 tentang Pepera, 1969.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI