D. Sikap Indonesia: Papua sebagai Bagian Tak Terpisahkan dari Republik
Bagi pemerintah Indonesia, penundaan status Irian Barat merupakan bentuk kompromi yang sangat pahit. Meskipun Indonesia berhasil memperoleh pengakuan kedaulatan, perundingan KMB dinilai tidak sepenuhnya memenuhi cita-cita Proklamasi 1945. Mohammad Hatta dan delegasi Indonesia kala itu menyadari bahwa mempertahankan prinsip keutuhan wilayah harus berhadapan dengan realitas politik internasional, terutama tekanan dari pihak Belanda dan keengganan sebagian negara Barat untuk melepas pengaruh kolonialnya di Asia.
Namun demikian, posisi resmi Indonesia tetap tegas: Papua adalah bagian dari wilayah yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, yakni bekas Hindia Belanda sebagai satu kesatuan wilayah. Argumen ini diperkuat oleh pasal-pasal dalam Konstitusi RIS dan kemudian UUD 1945 yang menyebutkan bahwa wilayah Indonesia adalah wilayah bekas jajahan Belanda. Pandangan ini juga mendapat dukungan dari sebagian besar negara-negara Asia dan Afrika yang tengah berjuang mengakhiri kolonialisme.
E. Konsekuensi Penundaan: Sebuah "Bom Waktu" Diplomatik
Keputusan untuk menunda penyelesaian status Papua dalam KMB ibarat menyimpan bom waktu diplomatik yang suatu saat akan meledak. Ketidaktegasan dalam menyelesaikan status wilayah ini telah membuka celah bagi munculnya klaim-klaim ganda, baik dari Indonesia maupun Belanda, yang terus bertabrakan dalam forum-forum bilateral maupun internasional. Bahkan, penundaan ini dapat dibaca sebagai bentuk kegagalan KMB dalam mewujudkan dekolonisasi yang adil dan tuntas.
Lebih jauh, keputusan tersebut menunjukkan bahwa nasib rakyat Papua tidak menjadi subjek pembicaraan dalam forum internasional yang menentukan masa depan mereka. Mereka tidak dilibatkan dalam perundingan, tidak dimintai pendapat, dan tidak memiliki wakil yang bisa berbicara atas nama mereka. Dengan kata lain, Papua sejak awal telah menjadi objek dalam skenario politik antara dua kekuatan kolonial dan nasionalis yang saling berebut legitimasi.
III. Perkembangan Politik Pasca-KMB (1950--1960)
A. Gagalnya Perundingan Bilateral Indonesia--Belanda
Pasca-KMB, harapan awal bahwa status Irian Barat dapat diselesaikan secara damai dalam kurun waktu satu tahun segera kandas. Beberapa kali perundingan bilateral yang diadakan antara Indonesia dan Belanda sepanjang awal 1950-an tidak menghasilkan kemajuan berarti. Belanda tetap pada posisinya: Irian Barat tidak termasuk wilayah Indonesia. Bahkan, dalam berbagai forum internasional, termasuk di PBB, Belanda semakin aktif mempromosikan gagasan bahwa rakyat Papua berhak untuk menentukan nasib sendiri (self-determination) di luar entitas Indonesia.
Sebaliknya, Indonesia merasa dikhianati oleh sikap Belanda yang tidak menunjukkan itikad baik. Dalam pidatonya di berbagai forum nasional dan internasional, para pemimpin Indonesia, termasuk Presiden Soekarno, menegaskan bahwa masalah Papua bukan semata isu wilayah, tetapi juga soal prinsip dekolonisasi yang sejati. Dalam pandangan Indonesia, Belanda tidak konsisten dalam menerapkan prinsip-prinsip dekolonisasi karena tetap ingin mempertahankan pengaruh kolonialnya melalui Papua.
Situasi ini menimbulkan ketegangan diplomatik yang terus meningkat. Indonesia mulai memobilisasi diplomasi aktif ke negara-negara non-Blok dan Asia-Afrika, dengan mengangkat isu Irian Barat sebagai kelanjutan dari perjuangan antikolonialisme. Forum Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955 menjadi momen penting di mana dukungan terhadap posisi Indonesia dalam masalah Papua semakin menguat dari negara-negara yang baru merdeka.