Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Papua dan Penundaan Kemerdekaan : Warisan Konferensi Meja Bundar 1949

7 Mei 2025   06:12 Diperbarui: 7 Mei 2025   06:43 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (The Conversation)

Dengan kata lain, keputusan menunda status Papua sejak KMB telah menanamkan benih konflik jangka panjang karena masyarakat Papua dikeluarkan dari proses dekolonisasi, padahal mereka adalah bagian dari masyarakat yang juga hidup di bawah kolonialisme Belanda. Hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip hak menentukan nasib sendiri (right to self-determination) yang ditegaskan dalam Piagam PBB (Pasal 1 ayat 2 dan Pasal 55).

B. KMB: Menunda, Bukan Menyelesaikan Masalah Papua

Sejumlah sejarawan dan ilmuwan politik menganggap bahwa KMB adalah perundingan yang menyisakan banyak masalah struktural. Sejarawan Indonesia, George McTurnan Kahin, dalam bukunya Nationalism and Revolution in Indonesia (1952), mengkritik keras keputusan KMB karena lebih menekankan pada stabilitas politik Belanda daripada pembebasan penuh Indonesia dari kolonialisme. Ia menyebut bahwa penundaan status Irian Barat adalah "bom waktu" yang kelak akan meledak karena tidak menjawab akar masalah.

Begitu pula menurut ahli hukum internasional, Richard Chauvel, yang dalam berbagai tulisannya menekankan bahwa Papua menjadi korban perundingan kekuasaan antara Belanda dan Indonesia. Ia menyebut bahwa sejak awal, Papua hanya dilihat sebagai objek teritorial, bukan sebagai komunitas politik dengan kehendak kolektif. Dalam tulisannya bersama Ikrar Nusa Bhakti (2004), Chauvel menekankan bahwa sejak 1949 tidak ada upaya serius untuk mendengar atau melibatkan rakyat Papua dalam pembicaraan internasional menyangkut masa depan mereka.

Sebagian besar kritik historis ini menyoroti bahwa KMB lebih merupakan kesepakatan antara dua elite kolonial, dengan Indonesia mengambil posisi sebagai penerus administrasi kolonial Belanda, bukannya sebagai pembebas seluruh rakyat tertindas. Perspektif ini semakin kuat bila melihat bahwa pendekatan Indonesia pasca-1963 terhadap Papua tidak berbasis pada rekonsiliasi dan penghargaan budaya lokal, melainkan pendekatan integrasi paksa melalui militer dan birokrasi.

C. Teori Dekolonisasi dan Nasionalisme Negara-Bangsa

Dalam konteks teori pascakolonial, kritik terhadap proses integrasi Papua juga bisa dilihat dari gagasan Frantz Fanon, khususnya dalam karyanya The Wretched of the Earth (1961). Fanon menjelaskan bahwa dalam banyak kasus dekolonisasi di dunia ketiga, elit nasional yang menggantikan posisi kolonial justru mengulang struktur kekuasaan kolonial dengan wajah baru. Fanon menyebut hal ini sebagai "neocolonialism by native elites", yaitu ketika negara yang baru merdeka menguasai wilayah dan rakyat bekas koloni lainnya tanpa memberi mereka hak politik penuh.

Kasus Papua menunjukkan pola ini dengan sangat jelas. Integrasi wilayah ini tidak dibarengi dengan proses kultural yang sejajar dan demokratis. Negara pusat, dalam hal ini Indonesia, menempatkan Papua sebagai wilayah terluar yang harus dikendalikan, bukan sebagai bagian dari komunitas kebangsaan yang setara. Fanon menyebut bahwa bentuk nasionalisme semacam ini, yakni nasionalisme yang tidak membebaskan, hanya melahirkan ketegangan berkepanjangan dan resistensi.

Di sisi lain, teori Imagined Communities dari Benedict Anderson menekankan bahwa bangsa adalah konstruksi sosial yang dibangun melalui narasi dan simbol bersama. Dalam konteks ini, masyarakat Papua tidak pernah merasa menjadi bagian dari narasi nasional Indonesia yang dibentuk oleh elite politik di Jawa. Ketika suatu komunitas tidak merasa menjadi bagian dari "komunitas terbayang" nasional, maka integrasi akan berjalan secara paksa dan berujung pada kekerasan struktural.

D. Dominasi Elite Negara-Negara Besar dan Politik Realisme

Selain itu, keterlibatan negara-negara besar dalam proses penyelesaian Papua memperkuat asumsi bahwa masa depan Papua lebih ditentukan oleh kepentingan geopolitik internasional ketimbang prinsip-prinsip keadilan. Dalam skema perjanjian New York (1962), jelas bahwa Amerika Serikat memiliki kepentingan untuk mencegah Indonesia jatuh ke dalam pengaruh komunis. Oleh karena itu, tekanan kepada Belanda dan pemberian dukungan politik kepada Indonesia dilakukan bukan untuk memenuhi aspirasi rakyat Papua, melainkan untuk stabilitas kawasan dalam kerangka politik realisme internasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun