Teori realisme politik, seperti yang dijelaskan oleh Hans Morgenthau, menekankan bahwa negara bertindak berdasarkan kepentingan kekuasaan dan keamanan, bukan nilai moral universal. Dalam kasus Papua, semua aktor, Indonesia, Belanda, dan Amerika Serikat, bertindak sesuai kepentingan strategis masing-masing, sementara rakyat Papua sendiri terpinggirkan dari proses perundingan. Perjanjian New York (1962), yang menjadi dasar pelaksanaan Pepera, dibuat tanpa konsultasi dengan masyarakat Papua, dan tanpa persetujuan mereka.
Akhirnya, pelaksanaan Pepera 1969 yang hanya melibatkan 1.026 orang dalam proses yang disebut sebagai "musyawarah" menjadi simbol paling telanjang dari pengingkaran prinsip-prinsip demokrasi. Dalam laporan pengamat internasional, termasuk yang dibahas dalam dokumen "Decolonization Report of the UN General Assembly" tahun 1969, disebutkan adanya intimidasi terhadap perwakilan rakyat Papua yang dipilih secara tidak bebas. Banyak sejarawan, termasuk Carmel Budiardjo dan Liem Soei Liong dalam buku West Papua: The Obliteration of a People (1988), menganggap Pepera sebagai "manipulasi politik yang didukung internasional".
E. Warisan Konflik Akibat Proses Sejarah yang Timpang
Dari seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa persoalan Papua bukan semata-mata soal separatisme atau keinginan merdeka, melainkan hasil akumulasi dari proses sejarah yang timpang dan manipulatif, dimulai sejak KMB. Negara-negara besar menggunakan pendekatan realis, sementara Indonesia menerapkan pendekatan integrasi paksa, dan rakyat Papua tidak pernah diberi ruang sebagai subjek politik.
Sampai hari ini, narasi yang dibangun oleh negara Indonesia tetap didasarkan pada "warisan KMB" bahwa Papua adalah bagian sah dari wilayah Indonesia. Namun, narasi ini tidak berhasil menghapus luka sejarah yang mendalam dan tuntutan keadilan dari sebagian masyarakat Papua. Rasa keterasingan dan penindasan yang berlangsung selama puluhan tahun tidak bisa disembuhkan hanya dengan pendekatan pembangunan ekonomi tanpa rekonsiliasi historis yang sejati.
VI. Penutup
Sejarah integrasi Papua ke dalam Republik Indonesia bukanlah cerita tunggal tentang kemerdekaan yang tuntas, melainkan kisah kompleks yang dipenuhi kompromi diplomatik, pengabaian aspirasi lokal, dan hegemoni narasi negara. Dimulai dari Konferensi Meja Bundar 1949 hingga Penentuan Pendapat Rakyat 1969, proses ini memperlihatkan bahwa Papua lebih sering menjadi objek perundingan politik internasional ketimbang subjek dengan kehendak politik yang diakui dan dihormati.
Kini, setelah lebih dari setengah abad berlalu, luka sejarah itu belum juga sembuh. Konflik terus membara, korban terus berjatuhan, dan jurang ketidak percayaan antara negara dan masyarakat Papua makin melebar. Dalam situasi ini, pertanyaan-pertanyaan kritis pun tak bisa dihindari:
Apakah Indonesia benar-benar telah merdeka bagi semua, termasuk bagi rakyat Papua?
Apakah nasionalisme yang kita anut selama ini telah cukup inklusif untuk mengakomodasi keragaman sejarah, budaya, dan aspirasi politik masyarakat Papua?
Jika Papua sejak awal merasa tidak pernah dilibatkan, lalu atas dasar moral apa kita menuntut mereka untuk setia?
Pertanyaan-pertanyaan ini bukan untuk melemahkan keutuhan bangsa, melainkan untuk menyadarkan bahwa keutuhan sejati hanya bisa dicapai lewat keadilan historis, pengakuan atas hak menentukan nasib sendiri, dan keberanian untuk mengoreksi narasi dominan yang dibangun oleh negara. Tanpa itu semua, Papua akan terus menjadi luka yang tak kunjung sembuh, sekaligus cermin dari kegagalan kita dalam membangun bangsa yang benar-benar merdeka, adil, dan bermartabat.
(Tulisan Selanjutnya Seri 2, Judul : New York Agreement: Diplomasi Global tanpa Suara Papua)
Daftar sumber dan literatur utama yang digunakan dalam penulisan artikel "Papua dan Penundaan Kemerdekaan: Warisan Meja Bundar 1949":