Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Papua dan Penundaan Kemerdekaan : Warisan Konferensi Meja Bundar 1949

7 Mei 2025   06:12 Diperbarui: 7 Mei 2025   06:43 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (The Conversation)

Hasil dari diplomasi intensif ini adalah New York Agreement yang ditandatangani pada 15 Agustus 1962. Perjanjian ini menjadi tonggak penting dalam penyelesaian konflik Papua, namun juga mengandung sejumlah kontroversi. Dalam perjanjian tersebut, Belanda setuju menyerahkan administrasi wilayah Papua kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), dan selanjutnya diserahkan kepada Indonesia pada 1 Mei 1963.

Salah satu poin penting dalam New York Agreement adalah janji bahwa rakyat Papua akan diberikan kesempatan untuk menentukan nasib sendiri melalui mekanisme yang disebut Act of Free Choice (Pepera), yang harus diselenggarakan sebelum akhir 1969. Namun, dalam pelaksanaannya, perjanjian ini tidak memberikan ruang partisipasi bagi rakyat Papua dalam proses perundingan maupun penentuan bentuk masa depan wilayah mereka.

New York Agreement sangat jelas merupakan hasil kompromi antara dua negara berdaulat, Indonesia dan Belanda, dengan intervensi kuat dari kekuatan besar dunia, terutama Amerika Serikat. Rakyat Papua tidak dilibatkan dalam proses penyusunan perjanjian, tidak ada perwakilan mereka dalam forum perundingan, dan tak satu pun klausul menegaskan peran aktif masyarakat adat Papua dalam proses penentuan nasib sendiri.

D. Penyerahan Kekuasaan dan Awal Integrasi Bermasalah

Setelah UNTEA mengambil alih kekuasaan administratif dari Belanda, otoritas tersebut menyerahkannya kepada Indonesia pada Mei 1963. Sejak saat itu, Papua secara de facto berada di bawah kendali Indonesia. Namun, integrasi ini tidak serta-merta diterima oleh seluruh masyarakat Papua. Sebagian masyarakat menyambut Indonesia dengan harapan pembangunan dan keadilan, tetapi sebagian lain merasa telah dikhianati oleh proses yang tidak melibatkan mereka.

Selama masa transisi ini, terjadi perubahan drastis dalam struktur sosial dan politik lokal. Banyak elit Papua yang sebelumnya disiapkan oleh Belanda untuk proses kemerdekaan merasa kehilangan tempat dan suara dalam tatanan baru di bawah administrasi Indonesia. Sentimen ini menjadi benih ketidakpuasan yang berakar panjang.

Di sisi lain, Indonesia menghadapi tantangan besar untuk membangun infrastruktur, institusi, dan integrasi sosial yang mampu merekatkan Papua ke dalam bingkai nasional. Sayangnya, pendekatan militeristik dan birokratis yang ditempuh dalam dekade-dekade awal integrasi lebih sering memperuncing jarak kultural dan psikologis antara Jakarta dan Papua. Akibatnya, warisan sejarah dari perjanjian yang dipaksakan ini terus membayangi hubungan antara Papua dan pemerintah pusat hingga hari ini.

V. Kritik Historis

A. Pengabaian Aspirasi Rakyat Papua Sejak KMB 1949

Salah satu kritik historis paling mendasar terhadap proses integrasi Papua ke dalam wilayah Indonesia adalah ketiadaan ruang bagi rakyat Papua untuk menyuarakan kehendaknya sejak awal. Hal ini bermula dari Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, yang seharusnya menjadi titik akhir konflik kolonial Belanda, Indonesia. Namun, alih-alih menyelesaikan secara tuntas seluruh wilayah bekas jajahan Hindia Belanda, KMB justru menunda penyelesaian status Irian Barat (Papua) dan menyerahkannya pada mekanisme perundingan lanjutan antara Indonesia dan Belanda.

Keputusan untuk menunda status Papua merupakan kompromi politis antara dua negara kolonial, Belanda dan Indonesia, tanpa melibatkan masyarakat Papua sebagai subjek. Dalam perspektif teori dekolonisasi, ini merupakan bentuk lanjutan dari kolonialisme, yaitu kolonialisme internal, sebagaimana dikemukakan oleh Pablo Gonzlez Casanova. Kolonialisme internal merujuk pada dominasi suatu kelompok dalam negara merdeka terhadap kelompok lain secara ekonomi, politik, dan budaya, yang sering terjadi dalam proses pembentukan negara-bangsa pascakolonial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun