Jadi aku memustukan segera pergi dari sana, menuju ke pertigaan jalan, di seberang rambu lalu lintas. Di sana, riuh suara klakson mobil. Yang motor menyalip, yang naik mobil memencet klakson dengan tarik. Di tepi jalan, ada tukang balon menyeka peluh di pelipisnya. Mengaduh di bawah balon warna- warni. Sepeda ontelnya sudah tua, besi-besinya sudah menguning karena karatan. Lalu di seberangnya, ada dua perempuan dewasa. Saling beradu lidah, menunjuk-nunjuk dengan telunjuk. Melotot. Umpatan mulai keluar dari mulut mungilnya. Bergumam, macam orang sedang membacakan mantra kematian.
Maka, ketika lirikan mata ku sampai di ujung pertigaan jalan. Menatap bangunan klasik, dengan hiasan ornamen lampu berdekip, aku melangkah dengan kaki lecet. Ternyata banyak orang yang keluar-masuk toko. Mas-mas berkulit cokelat kehitaman, memanggul dua karung beras sekaligus. Badannya berotot, tinggi besar. Wajahnya sangar dengan tulang pipi tajam dan rahang yang lebar. Kulit cokelatnya telah tutung, terbakar sinar UV. Ia menyapa perempuan yang lebih muda darinya, seraya sedikit menggoda. Aku berjalan masuk toko itu. Ku lihat semua orang sibuk berbelanja, mengambil barang yang dibutuhkan.
Di sudut toko, dekat kulkas-kulkas yang berjejer, ada berbagai minuman dingin yang siap menyegarkan tenggorokan dengan banyak jenis rasa yang menggugah lidah. Aku mendekati salah satunya, mengintip label harga. Lalu merogoh lagi uang di saku celana. Menghitung kepingan koin di tangan. Satu, dua, tiga, empat, lima. Ternyata hanya lima uang koin seribuan. Uang ku hanya cukup membeli sebotol Le-Minerale tanpa rasa. Aku membuka kulkas, mengambilnya, dan membayar.
Saat bayar, aku menghitung kembali kepingan koin di atas besi pipih. Takut-takut salah satunya hilang dan tidak jadi membeli. Wajah si Pak Kasir menatap kepingan koin tersebut. Mukanya masam. Aku terus menghitungnya. Pas! Lalu memberikan lima keping koin itu. Ia menghitung kembali kepingan koinnya. Lalu menyeret koin-koin itu dengan kepalan tangan, memasukannya ke dalam kotak ceruk. Aku mengambil sebotol Le-minerale dan meneguknya sambil berjejak keluar dari toko.
                                                                   ***
"Boleh aku meminjam payungnya, Nora?" "Tentun, Arhan. Ambil lah payung ini".
"Aku titip celurit ini di rumah mu, yaaa... Takut Ayah mengangkatnya lagi untuk membacok ibu, atau mencongkel mata warga yang sedang memburunya."
Arhan pergi. Memayungi tubuhnya di bawah kain kanvas bergagang hitam. Tubuhnya tenggelam di antara rintik hujan. Kabut malam membungkus tubuh anak kecil itu, menyamarkannya dari penglihatan kelabu manusia. Aku selalu berharap ketika ia menjajakan jasanya kepada ibu-ibu di pinggir teras supermarket besar, ada orang dewasa yang waras. Waras secara psikis dan psikologi. Memungutnya atau memberikan uang lebih padanya. Bukan lagi menorehkan luka pengalaman. Sebab hidup bukan hanya sekedar kesiapan. Tapi memberi kebaikan, supaya manusia tidak sinting dan hilang arah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI