Asap mengepul dari wajan yang membakar minyak, berbaur dengan suara dentang sudu cuil. Mamak terlihat sibuk menahan desakan otot-otot tangan yang mengoyak-oyak tubuhnya. Pemuda itu mendorong Mamak hingga tersungkur. Kepala Mamak terdabik keras lantai dapur. Sambil meringis dan menjerit, ia tetap mendengarkan makian si pemuda itu. Suasana menjadi semakin keruh ketika letupan minyak menyiprat dahi si Pemuda. "Lacur!", katanya. Ia terus memukuli Mamak, mengumpat keras-keras. Dan akhirnya ia mengambil celurit dari tumpukan perkakas. Ia acungkan celurit itu dari kepalan tangannya. Pemuda itu kalap. Kerasukan, kesetanan.
"Aku merasa napasku berat malam itu," kata Arhan. Aku panik, berdiri di depan pintu daun pintu dapur. Bergidik ketakutan dan menangis. Aku mengiba, membuat kaki ku otomatis berlari, memeluk Mamak. Pemuda itu diam. Lalu mengumpat, "Wanita jalang dan anak haram? Lucunya kalian!" Aku dan Mamak hanya diam. Tak berani menjawab. Begitulah katanya setiap hari.
Ketika si Pemuda hampir melayangkan celuritnya, ada suara berat memanggilnya di pekarangan rumah, "Cadekkkk... Cepat!" Ia segera memalingkan mukanya. Menurunkan kepalan tanggannya. Ia melempar celurit itu ke sudut pintu. Menatap ku geram, seolah dia siap menerkam ku kapan saja. Hening sepersekian detik. Gelagapan ia berkata, "Anak Jahannam!" lalu pergi bersama temannya. Aku menatap Mamak. Kepalanya terkulai di atas paha ku. Darah merah segar bercucuran dari pelipisnya.
Malam itu menjadi malam yang sial bagi aku dan Mamak. Si Pemuda- Ayah ku, sering mengumpati Mamak. Katanya, "Kau lacur!" "Jalang!" "Hidup mu cocok di keroyok lelaki bercelana melorot."
"Dia begitu terus pada Mamak mu?"
"Ya. Aku juga kadang kena umpatannya." kata Arhan. Ia punya pelesetan dari namaku dengan sebutan- Arham. Singkatan dari anak haram. Menjijikan. Padahal bukannya aku tercipta dari sel- sel sperma dia? Ayah ku memang bodoh!
Ayah juga punya banyak hutang. Pinjamannya ia pungut dari tetangga kiri-kanan. Tapi karena itu, ia jadi sering marah, menyalahkan Mamak yang tidak becus mengatur uang. Padahal, aku lihat ia kemarin pergi tengah malam, bilangnya mau ronda. Ternyata saat matahari menyambut dari timur, ia datang dengan badan lemas dan kaku. Kaus oblongnya nyingsat, celana jeans-nya melorot. Lalu sambil mengigau dia menyapaku, "Arham. Selamat pagi anak haram. Haha..."
Tawanya membawa bau busuk. Bau ciu dari pasar yang ia beli dari hasil main gapleh semalam. "Cuiihhhh", kata ku. Membayangkan se-borok apa lambung yang ia isi dengan alkohol. Lalu ia masuk ke rumah. Menendang kursi kayu, kesakitan. Badannya sudah tak karuan, terhempas di atas bantalan kursi, lalu tertidur.
"Apa dia tidak pernah benar-benar meronda?"
"Ha? Tentu tidak! Justru ia yang dikejar-kejar tukang ronda." "Maksud mu?"
Ia senang pergi ke komunitas rebel. Teman-temannya suka memakai kaus oblong dengan bau yang menyesakkan hidung para ibu-ibu. Mungkin maksudnya agar baju mereka tidak dicolong. Soalnya, tugas colong-mencolong adalah bidang keprofesionalan mereka. Soalnya, ketika semua warga telah tertidur lelap, bahkan burung hantu pun telah masuk sangkarnya, mereka beraksi. Tak ada takut atau rasa getir bertemu pocong, atau mendengar suara kikikan kuntilanak di atas pohon. Mereka terobos saja semua malapetaka gaib tengah malam. Karena jaminannya adalah uang!