Malam menyergap. Mereka buru-buru bekerja. Keluar dari sarangnya. Mulai berpencar mencari rumah atau kandang ayam yang sepi.
"Sabar, sabar, bekerja itu jangan grasa-grusu," kata salah satu pemuda. Jadi, yang lainnya segera memelankan langkah kaki. Malam itu, mereka sepakat untuk nyolong kambing. Sialnya, kandang kambing itu ada di dalam pagar, terletak persis di sebelah rumah pemiliknya. Tapi mereka tetap bersikeras nyolong kambing. "Kamu congkel gemboknya pakai obeng", kata pemuda ke-dua ke pemuda ke- satu. Pemuda ke- satu segera mencongkel gembok. Gertakan satu, dua, tiga, terbuka! Mereka merangsak masuk, sedangkan salah satunya diam di luar pagar, memastikan tidak ada yang melihat. Mereka mulai mendekati kambing-kambing itu. Sialnya, kambing tidak tidur tengah malam! Mereka meng-embe keras sekali. Tapi beruntungnya mereka malam itu. Sebab, meskipun kambing-kambing itu meng-embe keras, tidak ada satu pun orang terbangun dari lelap tidurnya.
Lihai sekali para pemuda itu mengeluarkan salah satu kambing dari balik dumuk-dumuk sela kayu. Tangan pemuda itu mendorong si kepala kambing, pemuda lainnya mendorong bagian pantat dan badan. Maka dalam sekian menit, satu kambing berhasil dikeluarkan. Dalam durasi tiga puluh menit, ketiganya selesai. Mereka langsung pergi ke ujung jalan. Bersiap tancap gas!
"Ayah mu mencuri kambing?" tanya Nora.
"Iya, dia menggendong kambing itu seperti ketika ia menggendongku di umur lima tahun. Ia gendong di pundaknya. Di bawa pakai motor," kata ku.
"Edan!"
Esokannya banyak warga yang berkumpul di depan rumah ku. Mereka ramai-ramai berteriak. Mereka memaki dan mengeluarkan umpatan. Mamak keluar dengan tubuh bergetar. Ternyata mereka mencari Ayah! Tapi Ayah dari semalam tidak pulang. Mungkin ia bersemayam di gubuk tua, di antara bongkahan tembok bekas rumah yang mulai lapuk. Salah satu warga meringsuk ke dalam rumah, mencari Ayah. Saat dia melewati tubuhku yang meringkuk di sebelah kursi bambu, ia menengok, lantas melengos. Dua warga lelaki lainnya menyusul masuk ke rumah. Mengobar-abrik kamar. Satunya lagi mencari ke dapur, sambil melempar wajan dan panci ke lantai. Tapi nihil! Jadi ia berteriak ke warga lainnya sambil keluar dari rumah, "Sialan! Si garong kabur!" Lalu, warga jadi kesal. Mereka berdebat hebat. Ibu-ibu yang berdiri melingkar semuanya berwajah merah padam. Mulut mereka seperti meramal sesuatu. Aku melihat mereka marah untuk sesuatu yang tak nampak. Lalu mereka semua diam. Dua orang lelaki bertubuh besar dengan wajah bengas maju ke depan, menghampiri Mamak yang sudah bersimpuh meminta maaf. Namun, mereka malah menyeret Mamak. Meminta pertanggungjawaban darinya. Aku melihat itu dari balik daun pintu, tak tega. Air mata ku mulai berlinang perlahan. Ingin sekali rasanya menggertak mereka. Mengusir semua warga. Tapi tubuh ku malah bergetar. Napas ku menjadi sesak. Kenyataannya aku malah meringis, menangis kesakitan. Sedangkan semua warga berteriak dan marah seperti kesetanan.
Lalu Mamak berteriak, menunjuk ke arah ku. "Ambil saja dia. Dia bisa dijadikan jaminan!" Aku terkejut, seketika tubuh ku jadi menggigil. Mematung melihat tatapan para warga. Salah satu ibu-ibu keluar dari barisan kerumunan. Menghampiri aku yang hanya menampakkan wajah dari balik daun pintu. Tanpa berpikir panjang, ia menganggap kalau aku seperti barang jaminan. "Ayo kamu saja yang ikut!" kata ibu-ibu itu. Kemudian, pemikiran dangkalnya menyebar secara telepati ke warga lain. Mereka bergantian menyeretku. Membawa ku sebagai barang jaminan.
Sesampainya di kantor polisi aku hanya merengut. Air mata ku tak pernah berhenti mengucur. Aku hanya duduk di ruang tunggu bersama tiga pemuda. Ingus ku mulai meler. Pengelihatan ku mulai kabur. Hanya bisa menatap jam yang berdentang. Berharap Tuhan membantu ku. Menenteng dan melempar ku keluar dengan tangannya.
Saat giliran aku tiba dipanggil oleh polisi, benar saja, si polisi yang masih waras tentunya tidak mau menerima bocah ingusan di kantornya. Maka, warga yang melapor semakin marah. Mereka berdebat hebat. Lantas karena mereka skakmat, mereka menenteng ku keluar seperti kantong plastik sayuran. Melempar ku. Aku terjembab, hampir mencium tanah liat yang sudah bercampur dengan air got dan tanah yang menghitam. Saat itu aku hanya bisa bersimpuh, antara bersyukur dan menahan rasa sakit, karena lutut ku luka.
Matanya berkaca-kaca saat menceritakan bagian itu. Lalu, ia melanjutkan.