Di kawasan urban semua orang punya kesibukan, kendati kanak-kanak bermain di emperan, bersungut-sungut berebut tempat. Di sini, para pria dewasa menolak ajakan tikah-menikah, para perempuan jua menolak memeluk anak-anaknya. Bertahun-tahun Aji Saka meniup reruntuhan tembok warga -- ingin menyetubuhi tanah pianak. Memayungi tubuh mungilnya dengan jahitan kanvas.
Tahun 2008
Pukul 17:54. Siapakah yang menentukan nasib seseorang? Atau anak-anak yang suka bermain riang di tepi jalan? Meringsuk ke dalam gorong-gorong, mencari yuyu linu. Bersenda gurau, menyanyikan lagu Kupu-kupu yang Lucu. Sambil setiap hujan sore salah satunya suka berdiri di ambang gubuk- mengetuk pintu lignum yang sebentar lagi rapuh dimakan kembang kayu.
Amboiiiiii.... Siapakah itu? Tampak sekelebat bayang hitam diantara gumpalan tengak malam. Dingin merambat, kecut menyesakkan, dan bisu berdesah pelan. Awan hitam yang menggumpal, diterobos jutaan tetes air hujan dari Tuhan. Dan sebelum geluduk memamerkan suara tandangnya, burung-burung kutilang telah masuk ceruk yang tak diketahui cahaya bintang. Dengarlah, kita hanya semut-semut kecil yang suka bersembunyi di balik rumah ijuk tanpa besi. Namun makhluk itu semakin mendekat di dalam kegelapan. Larinya kencang, tergopoh-gopoh. Langkah makhluk itu terdengar berat dan tergesa. Todong sajalah aku, pikir Nora getir, jika yang datang bukan manusia. Nora bergidik mau masuk ke dalam gubuk, tapi sesaat situasi menegang ketika seorang bocah ingusan menerobos sirat-sirat cahaya, membawa celurit di kepalan tangannya.
"Persetan!"
"Boleh masuk?"
Nora mengangguk, takut salah bicara dan celuritnya malah melayang ke mukanya. Atau mungkin mencongkel bola matanya. Sialan! Anak siapa ini yang suka datang ke rumah? Hinggap begitu saja di antara ubin-ubin yang rangsak. Tanpa mengenakan sandal, ia menapaki satu per satu ubin putih mengkilat.
"Mau pinjam payung?" tanya Nora. "Benar! Kan, biasanya juga begitu."
"Lalu kenapa bawa celurit? Tubuh kerempeng mu bisa-bisa yang dilayangkan sendiri sama celurit itu".
Dia hanya tersenyum, meringis. Mulutnya mulai terbuka, membacakan sebuah peristiwa dari gambaran di ingatannya. Memulai kisahnya, dengan dada yang kelihatan sesak. Koyak.
                                                             ***