MoneterBI harus independen, mengatur uang beredar lewat instrumen suku bunga & OMO.Rp200 triliun masuk ke perbankan, BI diminta tidak menyerap kembali.Independensi BI terganggu, risiko inflasi.
FiskalDana APBN diarahkan ke belanja produktif agar multiplier effect muncul.Dana dijadikan "deposito" di perbankan untuk kredit.Kredit belum tentu mengalir ke sektor produktif.
PertumbuhanInjeksi uang bisa dorong konsumsi & investasi bila ada output gap.Diharapkan kredit meningkat, ekonomi bergerak.Jika sektor riil lesu, kredit tetap macet.
Stabilitas InflasiTambahan uang harus seimbang dengan kenaikan output (MV=PY).Tambahan likuiditas tanpa jaminan output naik.Inflasi & bubble aset.
---
Belajar dari Sejarah: Stagflasi 1970-an dan Krisis 1997
Sejarah dunia mencatat bahwa kebijakan moneter longgar sering menjadi bumerang. Pada 1970-an, dunia dilanda stagflasi: inflasi tinggi tapi pertumbuhan rendah. Phillips Curve yang dulu diyakini---bahwa inflasi dan pengangguran saling bertolak belakang---tidak lagi berlaku.
Di Indonesia, pada krisis 1997-1998, suntikan likuiditas perbankan (BLBI) justru menimbulkan moral hazard dan memperburuk krisis. Bank tidak menyalurkan dana untuk kredit produktif, melainkan dipakai menyelamatkan kelompok sendiri.
Apakah Rp200 triliun kali ini akan bernasib sama? Itu bergantung pada desain pengawasan dan tata kelola distribusinya.
---
Jalan Tengah: Stimulus yang Terkendali
Suntikan Rp200 triliun tidak harus berakhir sebagai bom waktu. Ada beberapa cara agar kebijakan ini bisa tetap bermanfaat:
1. Pengawasan Kredit -- Pemerintah dan OJK harus memastikan dana benar-benar tersalurkan ke sektor produktif (UMKM, industri manufaktur, sektor padat karya).
2. Koordinasi BI--Pemerintah -- Jangan ada ego sektoral. BI tetap harus diberi ruang mengelola stabilitas moneter.