Namun, masalah muncul ketika pemerintah meminta BI untuk tidak menyerap kembali dana tersebut. Di sinilah potensi benturan teori. Tugas BI sebagai bank sentral adalah menjaga stabilitas nilai rupiah dan mengendalikan inflasi. Untuk itu, BI punya instrumen seperti operasi pasar terbuka (OMO) untuk menyerap likuiditas berlebih. Jika peran ini "dibatasi" atau "dilarang", artinya independensi BI dipertanyakan.
Kontradiksi inilah yang disebut para ekonom sebagai potensi fiscal dominance: ketika kebijakan fiskal (pemerintah) terlalu mendikte kebijakan moneter (bank sentral). Dampaknya bisa berbahaya: investor kehilangan kepercayaan, inflasi sulit dikendalikan, bahkan nilai tukar rupiah bisa tertekan.
---
Dari Kacamata Fiskal: Dorongan atau Distorsi?
Dari sisi fiskal, suntikan Rp200 triliun jelas menunjukkan niat ekspansif pemerintah. Biasanya, APBN digunakan untuk membiayai belanja negara, subsidi, atau proyek infrastruktur. Kali ini, dana APBN digunakan sebagai "deposito" di perbankan dengan harapan bisa dilipatgandakan menjadi kredit produktif.
Namun, di sinilah letak pertanyaan kritis: apakah perbankan akan benar-benar menyalurkan kredit ke sektor produktif? Sejarah membuktikan, bank sering kali lebih memilih jalur aman: membeli obligasi pemerintah, menaruh dana di instrumen pasar uang, atau hanya memperbesar cadangan likuiditas. Jika itu yang terjadi, maka dana Rp200 triliun ini tidak akan jauh berbeda dengan ketika ia masih tidur nyenyak di BI.
Lebih buruk lagi, bila dana justru masuk ke sektor spekulatif seperti properti dan pasar saham, hasilnya bukan pertumbuhan riil, melainkan bubble aset yang rentan pecah sewaktu-waktu.
---
Teori Bertemu Praktik: Antara Idealisme dan Realitas
Untuk lebih jelas, mari kita bandingkan antara teori dan praktik kebijakan ini.
AspekTeori EkonomiPraktik KebijakanPotensi Masalah