Mohon tunggu...
Ronald SumualPasir
Ronald SumualPasir Mohon Tunggu... Penulis dan Peniti Jalan Kehidupan. Menulis tidak untuk mencari popularitas dan financial gain tapi menulis untuk menyuarakan keadilan dan kebenaran karena diam adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan.

Graduated from Boston University. Tall and brown skin. Love fishing, travelling and adventures.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Suntikan Rp.200 Trilliun: Kebijakan Menkeu Purbaya, Berkah dan Bom Waktu?

11 September 2025   12:02 Diperbarui: 11 September 2025   12:02 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun, masalah muncul ketika pemerintah meminta BI untuk tidak menyerap kembali dana tersebut. Di sinilah potensi benturan teori. Tugas BI sebagai bank sentral adalah menjaga stabilitas nilai rupiah dan mengendalikan inflasi. Untuk itu, BI punya instrumen seperti operasi pasar terbuka (OMO) untuk menyerap likuiditas berlebih. Jika peran ini "dibatasi" atau "dilarang", artinya independensi BI dipertanyakan.

Kontradiksi inilah yang disebut para ekonom sebagai potensi fiscal dominance: ketika kebijakan fiskal (pemerintah) terlalu mendikte kebijakan moneter (bank sentral). Dampaknya bisa berbahaya: investor kehilangan kepercayaan, inflasi sulit dikendalikan, bahkan nilai tukar rupiah bisa tertekan.

---

Dari Kacamata Fiskal: Dorongan atau Distorsi?

Dari sisi fiskal, suntikan Rp200 triliun jelas menunjukkan niat ekspansif pemerintah. Biasanya, APBN digunakan untuk membiayai belanja negara, subsidi, atau proyek infrastruktur. Kali ini, dana APBN digunakan sebagai "deposito" di perbankan dengan harapan bisa dilipatgandakan menjadi kredit produktif.

Namun, di sinilah letak pertanyaan kritis: apakah perbankan akan benar-benar menyalurkan kredit ke sektor produktif? Sejarah membuktikan, bank sering kali lebih memilih jalur aman: membeli obligasi pemerintah, menaruh dana di instrumen pasar uang, atau hanya memperbesar cadangan likuiditas. Jika itu yang terjadi, maka dana Rp200 triliun ini tidak akan jauh berbeda dengan ketika ia masih tidur nyenyak di BI.

Lebih buruk lagi, bila dana justru masuk ke sektor spekulatif seperti properti dan pasar saham, hasilnya bukan pertumbuhan riil, melainkan bubble aset yang rentan pecah sewaktu-waktu.

---

Teori Bertemu Praktik: Antara Idealisme dan Realitas

Untuk lebih jelas, mari kita bandingkan antara teori dan praktik kebijakan ini.

AspekTeori EkonomiPraktik KebijakanPotensi Masalah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun