Mohon tunggu...
Ronald SumualPasir
Ronald SumualPasir Mohon Tunggu... Penulis dan Peniti Jalan Kehidupan. Menulis tidak untuk mencari popularitas dan financial gain tapi menulis untuk menyuarakan keadilan dan kebenaran karena diam adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan.

Graduated from Boston University. Tall and brown skin. Love fishing, travelling and adventures.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rudal,Rapat dan Retorika: Dunia Tertidur di Atas Abu Anak-Anak Gaza

9 Juli 2025   07:05 Diperbarui: 9 Juli 2025   07:05 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rudal, Rapat, dan Retorika: Dunia Tertidur di Atas Abu Anak-anak Gaza

Oleh: Ronald Sumual Pasir

Bayangkan sebuah dunia di mana anak-anak yang sedang bermain bola tiba-tiba berubah menjadi abu. Bayangkan dunia yang tahu persis siapa yang menjatuhkan bom, tapi malah mengadakan rapat panjang untuk "menyusun pernyataan sikap." Dan bayangkan dunia itu adalah dunia kita---hari ini---di abad 21, di mana kita bisa memesan makanan lewat aplikasi, tapi tak bisa menghentikan rudal yang mengoyak tubuh balita Palestina.

Inilah ironi terbesar dalam sejarah modern: semakin canggih peradaban, semakin brutal kejahatan yang dibungkus hukum dan diplomasi.

Gaza: Neraka Buatan Manusia

Sejak Oktober 2023, Gaza berubah dari wilayah terblokade menjadi ladang eksekusi massal. Lebih dari 15.000 anak-anak Palestina tewas. Sekolah, rumah sakit, bahkan tempat penampungan PBB menjadi sasaran rudal---dan tidak ada yang bisa menghentikannya. Tidak Amerika Serikat. Tidak Uni Eropa. Tidak PBB. Tidak siapa pun.

Anak-anak Gaza tidak mati karena kelaparan. Mereka mati karena dunia terlalu sibuk mengatur rapat darurat, menyusun resolusi kosong, dan tentu saja---menjual senjata kepada pelaku genosida.

Rudal Jatuh, Dunia Mengadakan Rapat

Setiap kali Israel mengebom sekolah, rumah sakit, atau tenda pengungsi, komunitas internasional mengeluarkan kalimat favorit mereka:

"Kami sangat prihatin."

Kepedihan warga Gaza direspons dengan pidato panjang di New York. Rudal dijawab dengan diplomasi. Bayi yang tertimbun puing dijawab dengan veto. Dan anak-anak yang dibunuh massal, dijawab dengan janji bantuan kemanusiaan yang tak pernah sampai.

Sementara itu, Washington terus mengirim senjata. London membela diri dengan dalih "hak membela diri." Dan Uni Eropa? Terbagi antara ketakutan pada lobi Israel dan kepengecutan politik internal.

Bisnis Berdarah: Industri Senjata Tersenyum

Menurut laporan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI, 2024), penjualan senjata global naik 11% sejak pecahnya perang Gaza. Amerika Serikat, Israel, dan sekutunya menjadikan konflik ini sebagai panggung demonstrasi teknologi militer.

Ya, Gaza adalah showroom berdarah tempat sistem Iron Dome, drone pembunuh, dan rudal presisi tinggi dipertontonkan.

Perang bukan kegagalan. Perang adalah strategi bisnis. Dan Israel, sebagai salah satu pengekspor senjata terbesar dunia, menjual produk berdasarkan "pengalaman tempur nyata"---tested in Gaza.

Blokade, Bom, dan Pembiaran Global

Selama hampir dua dekade, Gaza hidup di bawah blokade total. Listrik hanya beberapa jam per hari. Air bersih langka. Obat-obatan dibatasi. Tapi semua ini dianggap "biasa" oleh dunia.

Ketika akhirnya rakyat Gaza melawan, dunia menyebutnya teroris.

Saat bom dijatuhkan ke rumah mereka, mereka disuruh bersabar.

Dan ketika mereka terbunuh dalam jumlah ribuan, dunia sibuk menghitung angka, bukan menyelamatkan nyawa.

Dunia yang Kehilangan Nurani

Yang paling menakutkan bukanlah bom itu sendiri. Tapi bagaimana dunia terbiasa melihatnya.

Bagaimana kita bisa makan malam sambil menonton berita tentang anak-anak yang mati tertimbun puing? Bagaimana bisa platform digital menyensor suara Palestina, tapi tidak menyensor kekerasan nyata?

Kita tidak hanya gagal menghentikan genosida. Kita sudah menjadi bagian dari mesin pembiaran massal.

Hipokrisi Dunia Barat: HAM yang Selektif

Amerika dan sekutunya selalu bicara tentang demokrasi dan hak asasi manusia. Tapi di Gaza, mereka membiarkan rakyat sipil dihancurkan tanpa peringatan.
*Di Ukraina, satu peluru dijatuhkan, seluruh dunia mengecam Rusia.
*Di Gaza, satu kamp pengungsi hancur lebur, dunia malah mengirim senjata tambahan ke Israel.

Ini bukan lagi standar ganda. Ini adalah sistem dunia yang cacat secara moral.

Mengapa Tidak Ada Perdamaian?

Karena perdamaian:
*Tidak menguntungkan bagi industri senjata.
*Tidak memperluas pengaruh geopolitik negara adidaya.
*Tidak memperkaya elite politik dan kontraktor militer.

Selama sistem global ini masih dikendalikan oleh mereka yang mendapat untung dari perang, perdamaian hanyalah ilusi manis yang dipakai saat kampanye pemilu.

Mengapa Negara Adidaya Selalu Melakukan Hegemoni?

Mari kita jujur: dalam sejarah dunia, perdamaian bukanlah kebiasaan kekaisaran.
Roma, Inggris, Prancis, Amerika---semuanya memupuk kekuatan dari perang, kolonialisme, eksploitasi.

Hegemoni adalah naluri dasar dari imperium. Mereka butuh musuh. Mereka butuh wilayah konflik. Dan Timur Tengah, sayangnya, adalah ladang empuk untuk itu---karena kaya minyak, rawan politik, dan lemah secara diplomatik.

Israel hanyalah proyeksi kepentingan geopolitik AS di Timur Tengah.

Di Mana Dunia Islam?

Ini pertanyaan pahit yang terus menggema:
Mengapa dunia Islam---dengan 50+ negara---gagal menghentikan pembantaian ini?

Jawabannya menyakitkan:
*Banyak pemimpin Muslim justru berbisnis dengan Israel dan AS.
*Ada yang takut sanksi ekonomi.
*Ada yang sibuk menjaga kekuasaan daripada menyuarakan kebenaran.
*Dan ada juga yang menjadi boneka geopolitik.

Upaya BRICS dan Perlawanan Global

Di luar Barat, sejumlah negara mulai melawan. Aliansi BRICS (Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan) menyerukan reformasi sistem global, mengurangi ketergantungan pada dolar, dan mulai menyuarakan keadilan bagi Palestina.

Gerakan masyarakat sipil global juga makin besar. Boikot, demonstrasi, kampanye digital, hingga tekanan hukum internasional terus dilakukan. Tapi semua itu belum cukup---karena sistem yang dibangun memang tidak dirancang untuk menghentikan penjajahan.

Penutup: Gaza Adalah Cermin Kita

Jika Gaza adalah neraka, maka dunia ini adalah penontonnya yang bisu.
Kita hidup di zaman ketika setiap pembunuhan disiarkan langsung, tapi tak ada tombol "stop."
Kita hidup di dunia yang bisa menghitung jumlah korban, tapi tidak bisa menghitung dosa kolektifnya.

Gaza bukan hanya tentang Palestina.
Gaza adalah ujian bagi kemanusiaan kita. Dan sejauh ini, kita gagal.

Teaser (150 karakter):

Bom dijatuhkan, anak-anak terbunuh, dunia hanya mengadakan rapat. Gaza bukan tragedi biasa---ini genosida yang disiarkan langsung.

Tagar:

#GazaUnderAttack #StopGenocide #JusticeForPalestine #SaveGaza #HumanityFailed #FreePalestine #KemanusiaanBukanPolitik #Kompasiana

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun