"Makan tanpa cabe itu kayak lo orang hidup tapi ga punya masalah. Jadi, datar aja," gw menjawab diplomatis.
"Hidup kayak gitu mana enak. Ga ada tantangan."
Customer itu pun mengiyakan. Usai menyeruput minuman kaleng berperisa kopi, doi pun melanjutkan ceritanya.
"Gw setuju sama analogi lo, mas. Makan tanpa sambal atau yang pedas-pedas itu emang kurang nikmat," ujarnya.
"Itu jadi alasan gw ga makan di kedai kostan lagi. Secara, setiap gw beli, sambalnya udah habis terus."
Sebagai karyawan swasta, customer ini biasa pulang sore. Namun, jika dikejar target dari kantornya, tak jarang dia baru sampe kostan jelang pergantian hari.
Maklum, kerja di perusahaan akuntan publik yang masuk Big Seven. Profesi ini membuatnya dikejar target dari kantornya untuk klien, baik swasta maupun pemerintah di berbagai daerah.
Alhasil, sampai kedai, menunya udah banyak yang habis. Memang, dagangnya 24 jam, bergantian dijaga antara menantu pemilik kostan dan saudaranya.
Hanya, kalo malam lebih banyak mi instan dan gorengan. Nasi sih ada, tapi untuk sayur dam lauk pauk kurang lengkap.
"Gw sih ga apa-apa dengan menu seadanya. Maklum, udah malam. Gw bisa beli nasi sama ayam goreng, ikan, atau sayur aja. Masalahnya, sambalnya juga kehabisan," jawabnya.
"Sekali, dua kali, hingga ketiga, gw bisa maklumin setiap diminta sambal selalu kosong. Namun, kalo setiap beli habis ya lama-lama gw males juga.