Mohon tunggu...
ROBERTUS DARVINO KARNO
ROBERTUS DARVINO KARNO Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lahir pada bulan November, tanggal 15, 1993. Menyukai pemikiran Herakleitos tentang Pantha Rei. Bahwa sesuatu itu mengalir dan dinamis.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kritik yang Humanis dan Dialogis, Ciri Khas Demokrasi Indonesia

24 September 2021   21:37 Diperbarui: 31 Maret 2022   08:23 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                                                                Sumber Foto: https://mediaindonesia.com

Pentingkah etika dalam menyampaikan kritik. Apakah demokrasi dapat mewadahi segala kritkan termasuk jika kritikan itu tidak bermoral-beretika. Apakah dalam berpolitik etika itu ditanggalkan karena semua orang harus berkompetisi dan tidak boleh baper?

Kepemimpinan Presiden Jokowi episode kedua yang sedang berlangsung sejak 2019 yang lalu hingga 2024 nanti rupanya menuai banyak kritikan dari berbagai macam kalangan. 

Ada kritikan yang datang dari partai oposisi seperti Demokrat, PKS yang sangat getol mengomentari kebijakan-kebijakan presiden beserta kabinetnya. Ada pula kritikan yang datang dari kaum aktivis, kaum akademisi seperti mahasiswa.

Kita tentu masih ingat kritikan tajam dari BEM UI beberapa waktu lalu yang mengatakan"Jokowi the King of lip service". Secara sederhana ungkapan asing itu diterjemahakan "Jokowi Raja pembohong". 

Pembohong karena lain yang diucapkan, lain yang dibuat. Ada juga kritik yang tidak mengatasnamakan aliansi atau institusi tertentu melainkan secara pribadi. Bahkan akhir-akhir ini muncul juga fenomena "mural" dalam bentuk tulisan-tulisan dan karitatur yang dibuat sedemikian rupa di mana di dalamnya berisi kritikan terhadap presiden dan pemerintah.

Di era Jokowi ini baik periode pertama maupun periode kedua kritikan memang sangat masif. Tak ketinggalan emak-emak juga turun ke jalan untuk berdemo. Bahkan presiden sendiri pun beberapa waktu yang lalu meminta untuk dikritik. 

Presiden dan kabinetnya sangat terbuka dengan kritikan-kritikan sejauh kritikan itu membangun dan tidak menyimpang dari etika serta nilai-nilai luhur-moral yang sudah lama membudaya di Indonesia. Karena bagaimana pun juga negara ini didirikan di atas nilai-nilai tersebut. 

Kritik adalah salah satu bentuk penyampaian aspirasi. Bahkan beberapa hari yang lalu dalam kunjungan ke Surabaya presiden Jokowi presiden Jokowi dikritik oleh seorang peternak ayam melalui sebuah poster sederhana. Meskipun sempat terjadi polemik atas peristiwa ini karena petugas keamanan yang reaktif berlebihan. 

Seminggu kemudian peternak ayam tersebut diudang oleh presiden ke istana negara untuk berdialog. Sebuah respon yang sangat santun dan humanis. Jokowi memang terkesan sangat humanis dan dialogis dalam menghadapi kritkan dari masyarakat.

Sikap politik-demokratis ala Jokowi ini seringkali dikonfrontasikan dengan era orde lama dibawah kendali Presiden Soeharto yang berkusa selama 32 tahun. 

Dalam orde lama kritikan terhadap pemerintah tidak se-masif kritikan di era Jokowi. Akibatnya dalam orde lama kebenaran dan keadilan seringkali dibungkam karena pemerintahan yang terlalu otoriter dan totalitarian. 

Pemerintah menggerakan kekuatan militer untuk menakut-nakuti masyarakat. Dengan demikian masyarakat tidak bebas menguasai panggung publik. Itulah sebabnya Orde Lama sangat syarat dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. 

Kenyataan tersebut merupakan fakta kelam potret "penzoliman terhadap demokrasi" di republik ini. Beruntunglah kita memiliki menteri keuangan ibu Sry Muliani yang begitu tangguh  memperjuangkan uang negara yang dulunya dipinjamkan ke keluarga cendana.

Dalam alam demokrasi kritik sah-sah saja bahkan kritik merupakan ciri khas dari demokrasi. Sebuah negara yang menganut paham demokrasi seperti Indonesia membutuhkan kritikan-kritikan sebagai bentuk dukungan sekaligus alarm bagi pemerintah untuk tidak menyimpang dari nilai-nilai demokrasi atau nilai-nilai kebenaran. 

Mahasiswa kritik misalnya dalam bentuk demonstrasi. Itu adalah hal yang baik dan positif. Sebab mahasiswa adalah penjaga kebenara-kebenaran ilmiah yang digunakan dalam tata kelola pemerintahan agar nilai-nilai kebenaran itu tetap lestari.

Dalam ekosistem demokrasi mahasiswa memiliki ruang partisipasi yang cukup luas. Oleh karena itu adalah sesuatu yang benar jika mahasiswa mengeritik pemerintah yang biasa disampaikan dalam bentuk demonstrasi atau hal lainnya. 

Tetapi perlu diingat mahasiswa itu adalah penjaga kebenaran dan moral. Oleh karena itu kritikan-kritikan itu hendaknya dibarengi oleh moralitas dan integritas sebagai seorang kiper demokrasi. Karena kritik adalah nafas-jantung demokrasi.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) kritik berarti kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik-buruk terhadap suatu karya atau pendapat.  

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, Kritik adalah proses analisis dan evaluasi terhadap sesuatu dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki pekerjaan. Kritik berasal dari bahasa Yunani kritikos yang berarti "dapat didiskusikan". Kata kritikos diambil dari kata krenein yang berarti memisahkan, mengamati, menimbang, dan membandingkan.

Pengamat Kebijakan Publik Dr. Trubus Rahardiansyah, SH, MH, MS, mengatakan, kritik jangan sampai berisi ujaran kebencian atau hate speech. DilanjutkanTrubus, bahwa kritik juga jangan mengarah kepada personal atau menyebut nama seseorang yang ujungnya bisa menjadi penghinaan dan pencemaran nama baik. 

Karenanya, kritik harus menekankan kepada perbaikan-perbaikan. "Kritik itu harus menegakkan solusi, bahasa kerennya itu kritik yang solutif, jangan mengkritik hanya karena kepentingan-kepentingan saja. Pada dasarnya semua kritik itu diperbolehkan tapi kritik itu didasarkan pada data untuk memberikan suatu rekomendasi atau masukan," ujar Trubus di Jakarta, Kamis (17/6/2021).

Fenomena masifnya kritik yang terjadi belakangan ini menuai banyak pesepsi dan pertanyaan di tengah publik. Benarkah kritik itu murni mau mengkritisi kebijakan pemerintah? 

Karena seringkali yang terjadi aksi penyampaian kritik-aspirasi itu berujung pada tindakan anarkis. Ataukah ada agenda tersembunyi di balik aksi tersebut? benarkah pemerintah anti kritik ketika adanya oknum tertentu yang ditangkap dan diproses secara hukum karena tindakan anarkis saat menyampaiakan aksinya? 

Inilah deretan pertanyaan yang seringkali dipertanyakan oleh publik. Fenomena ini (saling tuduh antara pemerintah dan para kritikus/saling klaim benar) sepertinya menggiring rakyat pada sikap yang serba ambiguitas. Manakah pilar yang menjadi pegangan rakya. Di satu sisi begitu banyak pejabat-pejabat pemerintah yang melakukan tindakan-tindakan amoral seperti korupsi. Di sisi lain kritik juga diperlukan dalam sebuah negara demokrasi.

Menjawabi ambiguitas publik ini alangkah baiknya kita kembali merenungkan pilar-pilar bangsa kita yang diwariskan oleh para bapa bangsa. Ke- empat pilar bangsa itu adalah Pancasila sebagai dasar negara, UUD 1945 sebagai konstitusi dasar, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Gagasan pilar kebangsaan Indonesia lahir untuk menjaga Indonesia agar tetap satu kesatuan berlandaskan Pancasila.

Empat pilar tersebut merupakan gagasan-gagasan yang mengandung nilai-nilai luhur yang harus dipahami oleh seluruh rakyat dan menjadi panduan dalam kehidupan ketatanegaraan untuk mewujudkan bangsa dan negara yang adil, makmur, sejahtera dan bermartabat.  

Pengamalan nilai-nilai empat pilar bangsa ini diharapkan dapat menumbuhkan jiwa kebangsaan, nasionalisme, dan patriotisem generasi penerus bangsa untuk semakin mencintai dan berkehendak untuk membangun negeri. Dari ke-empat pilar ini Pancasila berkedudukan sebagai yang paling fundamental. Pancasila dijadikan sebagai dasar negara.

Menurut saya fenomena kritik yang disertai tindakan-tindakan anarkis beberapa waktu belakangan ini sangat tidak mencerminkan nilai-nilai luhur yang terrmaktub di dalam dasar negara yaitu Pancasila. Justru sebaliknya merusakn dan menodai nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Meski dapat dibenarkan bahwa kritik itu sebagai bentu penyampaian aspirasi tetapi sejauh aksi itu bercampur sikap anarkis yang merugikan orang lain dan bahkan membahayakan keselamatan bangsa dan negara maka kritik itu bernilai banalitas dan tidak berfaedah.

Perlu kita ketahui bersama bahwa Indonesia adalah sebuah bentangan wilayah yang sangat luas di mana di dalmnya terdapat keberagaman suku, bahasa, adat-istiadat dan ras. 

Oleh karena itu demokrasi sebagai sistem politik yang diadopsi dari Yunani klasik dan dimodifikasi-dipadukan dengan nilai-nilai luhur bangsa kita merupakan suatu kosntruksi yang sangat tepat untuk mengelola negara-bangsa yang besar ini. 

Tetapi demokrasi bukan satu-satunya alat sistem yang bisa digunakan tetapi dilihat sebagai sebuah pilihan yang paling relevan. Namun sayangnya demokrasi yang baru berjalan separuh abad ini justru kini mulai dirong-rong oleh sekelmopok orang tertentu.

Mengutip tulisan Ramlan Surbakti (Kompas Seni, 30 Agustus 2021) "bahwa demokrasi dimanfaatkan oleh sekelompok orang tertentu untuk mengganggu kenyamanan negara dengan menyebarkan hoaks, radikalisme, intoleransi dan lain sebagainya. Alih-alih mau menyelamatkan bangsa tetapi yang terjadi justru menzolimi bangsa. Tidandakan seperti ini sesungguhnya bertindak karena demokrasi tetapi tidak demokratis.

Perlu diketahui bersama bahwa negara ini memiliki etika moral yang luhur yang digali dari perut tanah air sendiri. Bukan produk asing. Presiden Jokowi dalam konferensi Pers di Metro TV menanggapi kritik BEM UI beberapa pekan yang lalu mengatakan bahwa pemerintah tidak anti kritik. Silahkan mengeritik. Karena kritik adalah nafas demokrasi. 

Tetapi yang perlu diingat adalah bahwa bangsa kita hidup dalam alam demokrasi yang berpayung di bawah etika-moral bangsa. Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi etiket dan moral-sopan -santun.  

Ucapan presiden ini benar adanya. Karena memang demikianlah hakikat bangsa Indonesia. Demokrasi bernaung di bawah nilai-nilai luhur bangsa yang temaktub dalam sila-sila pancasila. Kita sama-sama berjuang agar nilai-nilai luhur bangsa tidak dinodai hanya karena mengutamakan demokrasi tetapi tidak demokratis. 

Dalam hal ini mengutip kembali apa yang dikatakan oleh Ramlan, bahwa demokrasi Indonesia mesti dibangun di atas jiwa nasionalisme. Nasionalsime mengandaikan bahwa kita memiliki jiwa untuk mempertahankan eksistensi bangsa ini bahkan rela berkorban untuk tanah air tercinta. Bukan sebaliknya menghancurkan dan memusanahkan. Nasionalisme inilah yang harus diperkuat agar upaya pembangunan bangsa berjalan kondusif.

Dengan gagasan ini diharpakan agar penyampaian kritikan di panggung publik perlu didasari muatan moral. Misalnya menyampaikan aspirasi dengan cara yang humanis dan dialogis. Sebab senikmat apa pun politik nilai-nilai luhur dan moral tetap kita utamakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun