Mohon tunggu...
Riska Amelia
Riska Amelia Mohon Tunggu... Freelancer - Absurd

Seorang yang suka dengan sastra dan filsafat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pencuri-pencuri Buku

16 September 2021   20:40 Diperbarui: 16 September 2021   20:44 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

ku juga melihatnya. Seekor burung yang tengah bertengger di atas reranting cengkeh dan berkicau ria. Tanpa suara-suara manusia ... aku menjadi hidup, menjadi peka, dan penuh gairah. Tanpa suara-suara manusia, aku mendengar dinding yang dingin, kaca yang hangat, dan cacak-cacak yang merayap di dinding—berdesik kepadaku;

“Tak usah menangis lantaran sendiri. Kami ada di sini. Kami akan mendengar kisahmu sampai kamu benar-benar puas.”

Meski begitu, perasaan sedihku tak dapat dilepas. Fakta bahwa perpustakaan tak pernah dibuka membuatku kehilangan harapan. Meski dinding, jendela, dan cacak-cacak itu bersedia mendengar residu kalbu, tapi aku tidak akan pernah bisa menemui mereka lagi. 

Perpustakaan itu tidak pernah dibuka kecuali untuk latihan menari, bahkan tidak sama sekali untuk anak-anak sekadar membaca.

Lalu, aku yang selalu penasaran dengan bau buku cerita, pun hanya menggigit jari sambil melihat anak-anak yang sedang latihan menari dari jendela. Itu pun berdesakan dengan anak-anak lain. 

Entah dengan anak-anak lain. Mungkin, mereka tak kalah sama penasarannya denganku yang ingin merasakan bagaimana menghabiskan waktu luang di sudut ruang bernama perpustakaan.  

“Anne ...”

Tepat saat aku membereskan buku-buku ke rak, sebuah suara berdesir pelan menyebutkan namaku. Suara tersebut sangat pelan dan hampa—laiknya angin yang berembus pelan di daerah landai. Aku segera menyisir ke setiap penjuru. Tidak ada siapa pun. Dengan spontan, bulu kudukku berdiri. Suara itu mengingatkanku pada suara hantu yang tempo hari kutonton bersama saudaraku. 

“Anne ... Anne ...” 

Suara itu kembali terdengar—kali ini sedikit lebih keras. Jantungku berdetak sangat tidak teratur. Perasaan takut itu telah membalut diriku yang kecil, lemah, dan acapkali tidak berdaya. Meski begitu, rasa penasaranku terhadap hantu, juga tidak kalah besarnya. Aku segera menoleh ke arah sumber suara. Sebuah jendela yang menghadap ke halaman belakang perpustakaan. 

Aku disuguhi pemandangan yang sangat menakjubkan  saat mendekati jendela tersebut. Rupanya hamparan daun-daun hijau itu telah menyembunyikan laut yang terlukis cerah di kaki langit. Begitu aku membuka jendela, kesegaran alam semakin kental terasa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun