Dalam sinetron Preman Pensiun, Â ada tokoh Emak, mertua Kang Mus, yang diperankan oleh aktris Isye Sumarni. Emak sering hilang di pasar, minta dibelikan sepatu merek mahal, minta dibelikan es krim, dan sering salah paham dengan menantunya itu. Tokoh yang digambarkan menyebalkan dan menjengkelkan. Bayangkan jika kita merawat orang tua seperti itu.Â
Atau merawat pasangan sendiri yang tiba-tiba bahkan tidak ingat siapa suaminya, atau tidak ingat siapa namanya sendiri. Berteriak histeris ketika bertemu orang asing, atau curiga dengan seseorang, padahal orang asing itu adalah anak atau cucunya sendiri.
Dalam kondisi tantrum, atau histeris, sebagai pendamping kita harus tetap tenang terkendali. Tarik nafas, dan melepaskannya pelan-pelan. Jika perlu sambil beristighfar.
Jika tidak memiliki batas kesabaran, keikhlasan dan daya tahan yang cukup, jika awalnya kita sebagai perawat seorang caregiver demensia, bisa-bisa yang terjadi kemudian justru sebaliknya kita yang sakit, baik secara fisik maupun mental, jadi pasien..
Banyak orang berpikir sederhana membayangkan menjadi caregiver hanya sebatas mengurus kebutuhan sehari-hari; menyiapkan makanan, memastikan minum obat, atau membantu ke kamar mandi. Padahal, tidak sesimpel itu.
Bagaimana jika pasien kita perlahan kehilangan memori, bahkan kemampuan dasar yang paling sederhana. Sekedar menyuap nasi saja lupa bagaimana caranya. Sekuat apa kita bisa bersabar menghadapinya?.Â
Jadi intinya aktivitas caregiver bisa menjadi aktivitas rumit yang sering kali tidak terbayangkan sebelumnya. Kita dituntut bisa menjadi teman dialog meski lawan bicara kerap mengulang kalimat yang sama berkali-kali.
Kita harus tetap menjaga emosi, tetap tenang ketika pasien menolak mandi, bahkan lupa nama anaknya sendiri, di titik inilah, merawat demensia bukan hanya soal tangan kita yang harus gesit dan cekatan, tapi juga hati yang lapang.
Itulah mangapa di balik kata "merawat", ada pergulatan batin yang panjang. Caregiver kerap disebut sebagai "hidden patient"---pasien tersembunyi---karena mereka pun rentan sakit, baik secara fisik maupun mental. Perjuangan mereka bukan hanya agar orang yang dirawat tetap bertahan, tetapi juga agar dirinya sendiri tidak runtuh.
Tantangannya Bisa Rumit
Mengapa di bilang rumit, karena ketika orang lain melihat kita sebagai perawat, berasumsi bahwa kita adalah orang yang kuat, sabar, penuh dedikasi karena bersedia merawat. Tapi apakah orang lain tahu apa yang sebenarnya kita rasakan di dalam hati. Ada yang makan hati, dengan kata lain ada harga yang harus dibayar.
Ketika semua pekerjaan kita "selesai" atau jeda sejenak, tubuh akan merasakan kelelahan karena harus berjaga 24 jam, tidur terpotong-potong, dan tenaga terkuras. Persis seperti ketika seorang ibu baru melahirkan dan harus merawat bayinya yang bangun tidak kenal waktu, untuk pup atau ngompol. Belum lagi saat sakit. Sehingga ada yang mengalami baby blues- kondisi emosional yang umum dialami ibu setelah melahirkan.
Kita juga bisa terjangkit emosi karena menghadapi pertanyaan yang diulang puluhan kali, sikap keras kepala, atau tuduhan yang tidak masuk akal.
Kita juga bisa menjadi merasa bingung dengan diri sendiri, karena mengurus orang tapi justru energi habis, waktu terbuang, hingga untuk merawat diri sendiri saja tidak punya waktu. Sehingga sebagai individu yang seharusnya punya kehidupan sosial pun bisa tersita dan hilang. Sehingga orang hanya mengenal kita sebagai pangasuh atau penjaga-pasangan atau orang tua kita.