Masa depan transportasi sedang menjadi bahan perdebatan. Ada pertarungan ide yang semakin sengit. Antara kendaraan listrik (EV) dan e-fuel.Â
Sebagian pihak skeptis melihat bahan bakar e-fuel. Itu hanya upaya produsen mobil lama. Untuk menunda transisi ke teknologi baru.Â
Di sisi lain, ada optimisme besar. Dari para pendukungnya yang sangat percaya. Bahwa e-fuel adalah jembatan penting. Untuk mengatasi berbagai masalah yang ada. Masalah yang tak bisa diselesaikan kendaraan listrik.
Argumen paling kuat menentang e-fuel. Adalah masalah pada efisiensi energinya. Proses produksinya membuang banyak sekali energi.Â
Proses itu dimulai dengan proses elektrolisis. Untuk memecah air menjadi unsur hidrogen. Ketika hidrogen ini digabungkan dengan CO. Maka lebih banyak lagi energi hilang.Â
Akhirnya, saat e-fuel dibakar mesin. Sebagian besar energi jadi panas. Bukan menjadi sebuah gerakan mekanis.Â
Penelitian ilmiah telah menunjukkan fakta ini. Dari 100 kWh listrik di awal. Hanya 10-15 kWh menggerakkan mobil. (Wikipedia, 2024; Petro-Online, 2023).Â
Hal ini sangat kontras dengan mobil listrik. Sekitar 70-80 kWh dari 100 kWh. Dapat digunakan untuk menggerakkan mobil. Ini membuatnya delapan kali lebih efisien. (Sciendo, 2020; ScienceDirect, 2023).
Selain efisiensi, biaya produksi e-fuel. Juga menjadi sebuah kendala yang utama.Â
Riset terkini memperkirakan harganya mahal. Yaitu sekitar 1,10 hingga 1,80 per liter. Angka ini sungguh tidak realistis. Untuk konsumsi secara massal. (Frontier Economics, 2024; eFuel Alliance, 2025).Â
Produksi e-fuel sekarang masih terbatas. Untuk menggantikan semua bahan bakar fosil. Diperlukan skala produksi yang sangat masif.Â