Memahami Kelemahan Terkait Kecerdasan Emosional
Kelebihannya adalah juga kelemahannya agaknya menjadi frasa yang bisa mewakili keberadaan Gen Z ketika berhadapan dengan dunia kerja.
Kelebihan aksesnya terhadap teknologi membuka jejaring yang luas, namun menciptakan ketergantungan yang intens. Kemampuan gen Z yang bisa berpikir waras dalam menyikapi tantangan harus bisa mengatasi tekanan ketika "harus" tampil sempurna karena dibandingkan dengan orang lain.
Kemampuan mengatasi tekanan dari desakan teknologi di medsos bisa membantunya mengatasi gangguan kesehatan mental dan emosional dan menyebabkan kecemasan, depresi, atau rasa tidak puas dengan diri sendiri. Gen Z juga harus banyak berlatih dalam membaca isyarat emosional non-verbal dalam komunikasi tatap muka.
Begitu juga dalam menyikapi keterbukaan mereka terhadap perbedaan, baik dalam hal identitas gender, orientasi seksual, ras, maupun budaya. Mereka memang lebih mudah menerima perubahan sosial dan siap untuk beradaptasi dengan dinamika dunia yang semakin plural.
Tapi keterbukaan tanpa perisai persiapan mental yang baik justru bisa menambah ketidakpastian dan kebingungan, terutama dalam hal identitas diri. Sebagai contoh, generasi Z sering kali menghadapi pertanyaan tentang siapa mereka sebenarnya, dan ini bisa menimbulkan konflik internal dalam mengelola emosi mereka. Selain itu, kebebasan dalam mengekspresikan diri bisa memicu perasaan cemas tentang penerimaan atau penghakiman dari orang lain.
Mentalitas berkaitan dengan dunia digital yang menjadi pengukur-indikator keberhasilannya agar diakui harus mampu dikendalikan dengan memahami kapasitas dan daya dukung yang dimilikinya agar bisa mengukur kemampuan---jangan besar pasak daripada tiang.
Generasi Z dikenal mandiri, pragmatis, dan berorientasi pada tujuan. Mereka lebih cenderung untuk mengambil inisiatif dan menyelesaikan masalah secara mandiri. Kemandirian ini memungkinkan mereka untuk menghadapi tantangan dengan cara yang lebih rasional dan terstruktur, serta mengelola stres secara lebih efektif.
Ini menjadi titik lemah karena tidak semua orang bisa mengendalikan situasi sesuai keinginan. Ketika kegagalan datang bisa menyebabkan frustrasi atau kecemasan saat mereka merasa tidak dapat mengatur atau mengontrol hasil dari sebuah situasi.
Ini bisa mengarah pada rasa tidak puas atau bahkan kelelahan emosional, terutama ketika menghadapi tantangan besar yang tidak dapat mereka kendalikan, seperti masalah keluarga atau ketidakpastian ekonomi.
Tentu saja kunci pengendalian untuk mencapai sebuah tujuan juga harus terukur, sesuai kapasitas. Artinya kemampuan memahami kemampuan menjadi salah satu cari bagi Gen Z agar tidak terjebak dalam situasi ingin meraih sebuah tujuan tapi kapasitasnya jauh di bawahnya. Ini juga bisa menjadi salahs atu sebab saat interview Gen Z terjebak pada rasa percaya diri yang over.
Kepedulian yang tinggi terhadap masalah sosial bisa menyebabkan generasi Z merasa terbebani oleh perasaan tanggung jawab yang besar. Ketidakmampuan untuk melihat hasil langsung dari perjuangan mereka atau perasaan frustrasi karena tidak ada perubahan yang signifikan dapat menyebabkan kelelahan emosional atau perasaan putus asa.Lagi-lagi kemampuan melihat kapasitas menjadi kunci keluar dari jerat beban secara emosional.
Pada akhirnya meskipun ada kesadaran tinggi terhadap pentingnya kesehatan mental, mereka juga lebih rentan terhadap gangguan mental akibat perasaan tekanan yang datang dari berbagai sumber---seperti media sosial, tuntutan akademik, atau harapan orang tua. Perasaan terisolasi atau tidak mampu memenuhi standar sosial atau akademik yang tinggi bisa memperburuk kesejahteraan emosional mereka.
Realitas yang terakhir inilah yang paling jamak terlihat dialami oleh Gen Z ketika berhadapan dengan tantangan realitas yang sering kali berbenturan dengan harapannya yang tinggi pada ukuran keberhasilan dan kesuksesan yang menjadi ekspektasinya.
Dalam konteks ketika masuk dalam dunia kerja yang kompetitif, ekspektasi yang berlebihan yang disebabkan karena pengaruh media sosial, ukuran-ukuran tuntutan sosial, patron-patron sukses yang subjektif menjadi salah satu sebab mengapa Gen Z yang dianggap generasi "canggih" tapi justru lemah dan letoy ketika dihadapkan pada sebuah interview yang mengharuskannya memiliki kemampuan ekstra soal kecerdasan emosional, bukan cuma mengandalkan kecerdasan dan kemampuan canggih menguasai teknologi semata!.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI