Namun apakah kelebihan itu cukup untuk bisa membuatnya "kuat" menghadapi perubahan dan tantangan hidup?.
Ternyata ketergantungannya pada teknologi, seperti halnya media sosial untuk validasi diri dan pengakuan bisa menurunkan kepercayaan diri mereka jika tidak mendapatkan respons yang diinginkan, yang memengaruhi stabilitas emosional mereka.
Realitas menunjukkan, persoalan-persoalan yang dihadapi gen Z juga berkisar pada persoalan yang berkaitan dengan medsos. Persoalan personal, keluarga, pertemanan, pekerjaan masih tidak jauh dari lingkaran media digital yang menjadi penanda keberadaannya.
Generasi Z bahkan sering merasa terperangkap dalam ketidakpastian---baik dalam aspek profesional, sosial, atau pribadi---yang bisa mengarah pada kecemasan berlebih atau rasa tidak aman dalam membuat keputusan. Ini nantinya berkaitan dengan ekspektasi dan kemampuannya dalam membuat keputusan, termasuk ketika memasuki dunia kerja.
Bahkan dengan kelebihan memiliki akses ke banyak informasi tentang kesehatan mental, banyak dari mereka justru masih kesulitan dalam mengelola stres secara efektif. Faktor-faktor seperti overthinking dan kecemasan bisa memperburuk keadaan emosional mereka, terutama di lingkungan yang sangat kompetitif.
Inilah salah satu kelebihan sekaligus kelemahan dari Gen Z ketika berhadapan dengan tantangan dunia kerja.
Canggih Tetapi Rapuh
Agaknya frasa itu bisa menggambarkan kondisi generasi Z, terutama mereka yang tidak bisa menggunakan kelebihan yang dimilikinya dengan baik, sehingga justru menjadi bumerang. Bagaimana penjelasannya?.
Ketergantungan pada dunia jejaring maya, membuat mereka memiliki ekspektasi yang tinggi yang diperoleh dari apa yang mereka baca, lihat, tonton dan kemudian dijadikan rujukan dalam kehidupan mereka secara personal.
Ukuran-ukuran yang tinggi misalnya terkait keberhasilan, popularitas, viralitas membuat mereka yang tidak mencapi harapn itu merasa tertinggal, dan kehilangan kepercayaan diri. Ini menciptakan kondisi berupa kecemasan yang berlebihan ketika mereka merasa tidak mampu mencapai ekspektasi yang besar tersebut.
Ketika mereka dihadapkan pada sebuah interview, dan sampai pada pertanyaan soal salary misalnya, ekspektasi yang tinggi soal kemakmuran membuat mereka juga memiliki kepercayaan diri yang disesuaikan dengan harapannya secara personal. Sedangkan dunia kerja memiliki standar, ukuran sendiri yang didasarkan pada kemampuan secara personal dari si pekerja dan juga kebutuhan institusi, atau pasar yang akan merekrut tenaganya.
Dalam kasus ketika gen Z menghadapi situasi di dunia kerja seperti saat interview, meski punya akses ke dalam banyak informasi tentang kesehatan mental, banyak dari mereka justru masih kesulitan dalam mengelola stres secara efektif.
Sekali lagi ekspektasi yang berlebihan, seperti halnya overthinking dan kecemasan pda harapannya yang tinggi bisa memperburuk keadaan emosional mereka, terutama di lingkungan yang sangat kompetitif di dunia kerja. Ini juga faktor yang membuat mereka mengalami kesulitan ketika menghadapi sebuah interview.
Bukan karena pertanyaan yang diajukan terkesan basa-basi dan dianggap remeh karena sudah dikuasai informasi sebelumnya, namun karena persoalan terkait emosional---ekspektasi yang membuat cemas, kepercayaan diri yang berlebih yang bisa membuat stress. Hingga tekanan validasi diri dan pengakuan yang bisa menurunkan kepercayaan diri mereka jika tidak mendapatkan respon seperti yang diinginkan, yang memengaruhi stabilitas emosional mereka.