Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Mitos Ibu

14 Maret 2019   07:51 Diperbarui: 14 Maret 2019   21:25 13399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terpaksa aku mengelus dada ketika ibu mertua menyuruhku dan istri harus tinggal di rumahnya selama kehamilan istri.  Ada-ada saja! Padahal rumah ibu mertua cukup jauh dari kantor. 

"Ini penting demi keselamatan istrimu!" ketus ibu mertua ketika menjemput kami. Wajahnya masam karena aku sempat mengeluhkan jarak tempuh dari rumahnya ke kantorku lumayan lama. Itu artinya, aku harus lebih pagi bangun. Lebih pagi bersiap-siap ke kantor. Dan lebih ngebut menggeber motor.

"Kalian sedang menanti anak pertama. Jadi, harus hati-hati! Kalian tak mengerti apa yang boleh dan tidak dilakukan oleh perempuan hamil. Nanti kalau terjadi apa-apa, aku pasti menyesal karena tak mengajari kalian."

Kepalaku pening. Kubantu ibu mertua memasukkan pakaian ke dalam tas. Ocehannya terbiar mengalir, dan tak kukomentari lagi. Istri hanya menanggapi dengan desah atau anggukan kepala.

Dia juga sama sepertiku tak sanggup menolak kehendak ibu. Padahal di rumah kontrakan kami masih banyak yang harus dikerjakan. Seperti pesanan kue dari pelanggan setia. Menurut ibu mertua, semua itu tak perlu diurusi dulu. Menunggu kelahiran anak pertama kamilah yang harus diperhatikan lebih cermat.

* * *

Hari pertama yang menjemukan di rumah ibu mertua. Ada-ada saja mitos yang dikerjakannya sehingga membuatku geleng-geleng kepala. Istri disuruh menggantungkan gunting kecil di bh-nya, yang sebelumnya berpengait peniti. Aku takut sewaktu-waktu kulit dada istri terluka tertusuk mata gunting.

Ibu mertua langsung menggeram. Dia menyalahkan pasangan muda sekarang selalu menganggap semua petuah orangtua hanyalah mitos.

"Ini demi kebaikan kalian!" Ibu mertua berlalu ke dapur. Istri menendang kakiku, sebagai pertanda menyuruhku diam. Dia tak ingin kekesalan ibu berujung emosi yang meledak-ledak. Bila demikian, tingkah sang ibu seperti anak kecil. Di usia menjelang enam puluh lima tahun ini, dia mulai pikun.

* * *

Maryani, staff personalia di kantorku, manggut-manggut ketika kuceritakan tentang perilaku ibu mertua. Mulutnya berdecap-decap karena kepedasan menikmati rujak mangga muda. Dia juga seperti istriku, sedang hamil. Hanya saja usia kehamilannya sudah mendekati sembilan bulan, sedangkan istriku baru dua bulanan.

"Apakah kondisi seperti yang kualami itu terjadi juga kepadamu dan suami?" kejarku. Dia mengelap keringat di kening. Menatap lurus ke penjual es krim, dan memesan dua mangkok.

"Apa yang kau alami tak terjadi kepadaku dan suami. Kau tak ingat, papaku seorang pengusaha burung walet, dan mamaku dokter umum? Mereka tak memiliki pemikiran tentang mitos-mitos. Semua harus real, harus sesuai dengan medis. Jadi saranku, boyonglah istrimu kembali ke rumah kontrakanmu. Pertama, agar kau dan istrimu tak pening mendengar ocehan seorang ibu yang sangat memercayai mitos-mitos. Kedua, agar kau bisa tepat waktu tiba di kantor. Ingat, Hand. Bos bisa marah besar karena kau sudah dua hari ini terlambat masuk kerja. Bisa-bisa kau diberi surat peringatan. Kau mau?" ujung perkataannya setengah mengancam.

Bos memang keterlaluan ketika memberi surat peringatan. Dan tak tanggung-tanggung, peringatan ketiga seringkali dijatuhkan tanpa melewati jenjang peringatan kesatu dan kedua.

"Tapi ibu mertua pasti marah. Aku tak ingin dikutuk menjadi mantu yang durhaka. Posisi ibu mertua sama saja dengan ibu kandung. Artinya, dosa durhaka kepada kedua perempuan itu, serupa."

"Ya, terserah kaulah! Yang penting semua berjalan aman-aman."

Aku menggerutu. Heran! Apakah semua pasangan yang sedang menunggu kelahiran anak pertama selalu dikelilingi mitos-mitos? Kecuali Maryani tentunya. 

Apakah ibu mertua-ibu mertua selalu memperlakukan anak-anak mereka seperti bayi yang belajar berjalan? Uh, aku tak sadar menggebrak meja. Piring, mangkok dan gelas berlompatan di situ. Untung ketiga perangkat makanan tersebut telah kosong-melompong. Jadi tak mengotori pakaian Maryani. Perempuan itu hanya melotot kesal.

"Sorry! Biar kutraktir saja kau atas nasehatmu tadi," ucapku merasa bersalah.

"Terima kasih!" Wajah tegang Maryani kembali mengendur.

* * *

Apa yang selalu kukeluhkan sejak ibu mertua memboyong aku dan istri ke rumahnya, akhirnya mencapai titik nadir. Ibu mertua menginginkan istriku melahirkan bayi laki-laki. Karena kelak laki-laki itulah yang akan membela adik-adik, juga orangtuanya. Tapi bukan pasal itu yang membuat keluhanku berkepanjaangan. Melainkan syarat untuk mendapatkan bayi laki-laki itu.

Setiap kali bangun tidur, dan kala istri menyambutku pulang kantor, tak ada lagi aura keindahan yang ditunjukkannya kepadaku. Dia selalu mengenakan daster belel warisan ibu mertua. Wajah tak lagi berbedak, bibir tiada bergincu. Deodoran yang biasanya selalu menyinggahi pangkal bawah lengannya, pun tak pernah digunakan, sehingga membuarkan bau kurang sedap. Apalagi sehabis dia mengupas bawang merah atau putih misalnya.

"Ini kehendak ibu!" katanya saat kami rebahan di kasur dengan mata yang tak mau diajak terpejam. 

"Kehendak bagaimana?"

"Ya, itu, tuh! Karena ibu ingin aku melahirkan bayi laki-laki."

Aku terperanjat. Aku duduk dan memperhatikan wajah istri yang terlihat samar-samar diterangi cahaya lampu lima watt. "Apa hubungan bayi laki-laki dengan penampilanmu yang tak menarik ini? Kau tak takut kalau tiba-tiba aku tergoda perempuan lain tersebab kau berubah kucel dan maaf, beraroma kurang sedap?"

Istri terperanjat. Dia duduk, dan balas memerhatikan wajahku yang terlihat samar diterangi cahaya lampu lima watt. "Jadi, ada niatmu ingin berselingkuh, Mas? Setelah aku hampir memberimu seorang anak!" Dia emosi. Aku langsung mengguncang kedua bahunya.

"Bukan, Fe! Bukan niatku begitu. Aku hanya kesal, kenapa semua menjadi begini. Ibu telah membuat kita kacau-balau," keluhku.

"Ibu mengatakan aku tak boleh bersolek dan mempercantik diri kalau ingin melahirkan bayi laki-laki. Bila kulanggar, kita bisa memperoleh bayi perempuan," jelasnya.

"Apa ibu tukang ramal? Apa dia mau menyaingi Tuhan?" geramku. Istri buru-buru menutup mulutku dengan telapak tangan kanannya. "Pokoknya besok kau harus bersolek sehingga rasa cinta dan nafsuku tak padam kepadamu."

Benar saja, besok pagi telah kutemukan istri dengan pakaian daster baru, dan rambutnya di sisir rapi. Dia berbedak tipis-tipis, serta membuar aroma menggoda dari pangkal bawah lengannya. Benar pula ibu mertua tak setuju. Dia hanya menggeram sekali. Kemudian sepulang dari kantor aku menemukan barang-barangku dan istri telah disusun di ruang tamu. Ibu menyuruh kami pulang saja ke rumah kontrakan. Dia kecewa karena kami tak mau menuruti petuahnya.

"Tapi ibu tak menganggapku mantu durhaka?"

"Tidak! Aku tak sampai menganggap demikian. Mungkin aku yang salah telah memaksakan kehendak kepada kalian. Pulanglah!"

Aku bersorak dalam hati. Akhirnya terbebas dari ocehan ibu mertua. Akhirnya terlepas dari mitos-mitos yang membuat kepalaku seperti komidi putar. Segera aku dan istri kembali ke rumah kontrakan dan menata hidup seperti dulu, sebelum ibu mertua mengacaukannya.

***

Tujuh bulan usia kehamilan istriku, akhirnya kandungannya di-scan. Ibu mertua turut serta karena ingin mengetahui jenis kelamin bakal cucunya. Aku hanya mesem-mesem. 

"Nah, ini gambar anak Bapak! Kelihatannya sehat-sehat!" kata dokter.

"Jenis kelaminnya apa, Pak Dokter?" Ibu mertua tak sabaran.

"Perempuan!" jawab dokter.

Ibu mertua langsung memelototiku. "Itulah kalau tak mau mendengar petuah orangtua. Sudah kukatakan jangan bersolek-solek, malah membangkang. Jadinya, calon cucuku perempuan, kan?

"Laki-laki dan perempuan sama saja kok, Bu!" Dokter tersenyum-senyum tanpa mengerti arah pembicaraan ibu mertua. Sementara aku hanya membisu. Aku berpikir semuanya berjalan sesuai kehendak Tuhan.

--sekian--

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun