Setiap kali bangun tidur, dan kala istri menyambutku pulang kantor, tak ada lagi aura keindahan yang ditunjukkannya kepadaku. Dia selalu mengenakan daster belel warisan ibu mertua. Wajah tak lagi berbedak, bibir tiada bergincu. Deodoran yang biasanya selalu menyinggahi pangkal bawah lengannya, pun tak pernah digunakan, sehingga membuarkan bau kurang sedap. Apalagi sehabis dia mengupas bawang merah atau putih misalnya.
"Ini kehendak ibu!" katanya saat kami rebahan di kasur dengan mata yang tak mau diajak terpejam.Â
"Kehendak bagaimana?"
"Ya, itu, tuh! Karena ibu ingin aku melahirkan bayi laki-laki."
Aku terperanjat. Aku duduk dan memperhatikan wajah istri yang terlihat samar-samar diterangi cahaya lampu lima watt. "Apa hubungan bayi laki-laki dengan penampilanmu yang tak menarik ini? Kau tak takut kalau tiba-tiba aku tergoda perempuan lain tersebab kau berubah kucel dan maaf, beraroma kurang sedap?"
Istri terperanjat. Dia duduk, dan balas memerhatikan wajahku yang terlihat samar diterangi cahaya lampu lima watt. "Jadi, ada niatmu ingin berselingkuh, Mas? Setelah aku hampir memberimu seorang anak!" Dia emosi. Aku langsung mengguncang kedua bahunya.
"Bukan, Fe! Bukan niatku begitu. Aku hanya kesal, kenapa semua menjadi begini. Ibu telah membuat kita kacau-balau," keluhku.
"Ibu mengatakan aku tak boleh bersolek dan mempercantik diri kalau ingin melahirkan bayi laki-laki. Bila kulanggar, kita bisa memperoleh bayi perempuan," jelasnya.
"Apa ibu tukang ramal? Apa dia mau menyaingi Tuhan?" geramku. Istri buru-buru menutup mulutku dengan telapak tangan kanannya. "Pokoknya besok kau harus bersolek sehingga rasa cinta dan nafsuku tak padam kepadamu."
Benar saja, besok pagi telah kutemukan istri dengan pakaian daster baru, dan rambutnya di sisir rapi. Dia berbedak tipis-tipis, serta membuar aroma menggoda dari pangkal bawah lengannya. Benar pula ibu mertua tak setuju. Dia hanya menggeram sekali. Kemudian sepulang dari kantor aku menemukan barang-barangku dan istri telah disusun di ruang tamu. Ibu menyuruh kami pulang saja ke rumah kontrakan. Dia kecewa karena kami tak mau menuruti petuahnya.
"Tapi ibu tak menganggapku mantu durhaka?"