Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Mitos Ibu

14 Maret 2019   07:51 Diperbarui: 14 Maret 2019   21:25 13399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Apakah kondisi seperti yang kualami itu terjadi juga kepadamu dan suami?" kejarku. Dia mengelap keringat di kening. Menatap lurus ke penjual es krim, dan memesan dua mangkok.

"Apa yang kau alami tak terjadi kepadaku dan suami. Kau tak ingat, papaku seorang pengusaha burung walet, dan mamaku dokter umum? Mereka tak memiliki pemikiran tentang mitos-mitos. Semua harus real, harus sesuai dengan medis. Jadi saranku, boyonglah istrimu kembali ke rumah kontrakanmu. Pertama, agar kau dan istrimu tak pening mendengar ocehan seorang ibu yang sangat memercayai mitos-mitos. Kedua, agar kau bisa tepat waktu tiba di kantor. Ingat, Hand. Bos bisa marah besar karena kau sudah dua hari ini terlambat masuk kerja. Bisa-bisa kau diberi surat peringatan. Kau mau?" ujung perkataannya setengah mengancam.

Bos memang keterlaluan ketika memberi surat peringatan. Dan tak tanggung-tanggung, peringatan ketiga seringkali dijatuhkan tanpa melewati jenjang peringatan kesatu dan kedua.

"Tapi ibu mertua pasti marah. Aku tak ingin dikutuk menjadi mantu yang durhaka. Posisi ibu mertua sama saja dengan ibu kandung. Artinya, dosa durhaka kepada kedua perempuan itu, serupa."

"Ya, terserah kaulah! Yang penting semua berjalan aman-aman."

Aku menggerutu. Heran! Apakah semua pasangan yang sedang menunggu kelahiran anak pertama selalu dikelilingi mitos-mitos? Kecuali Maryani tentunya. 

Apakah ibu mertua-ibu mertua selalu memperlakukan anak-anak mereka seperti bayi yang belajar berjalan? Uh, aku tak sadar menggebrak meja. Piring, mangkok dan gelas berlompatan di situ. Untung ketiga perangkat makanan tersebut telah kosong-melompong. Jadi tak mengotori pakaian Maryani. Perempuan itu hanya melotot kesal.

"Sorry! Biar kutraktir saja kau atas nasehatmu tadi," ucapku merasa bersalah.

"Terima kasih!" Wajah tegang Maryani kembali mengendur.

* * *

Apa yang selalu kukeluhkan sejak ibu mertua memboyong aku dan istri ke rumahnya, akhirnya mencapai titik nadir. Ibu mertua menginginkan istriku melahirkan bayi laki-laki. Karena kelak laki-laki itulah yang akan membela adik-adik, juga orangtuanya. Tapi bukan pasal itu yang membuat keluhanku berkepanjaangan. Melainkan syarat untuk mendapatkan bayi laki-laki itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun