Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dua Ribu Potong Kue

19 Februari 2019   13:03 Diperbarui: 19 Februari 2019   13:27 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku harus cepat bertemu ibu! Harus cepat! Kukejar angkutan kota dengan sisa tenaga. Kutangkap pinggiran pintu, dan tubuhku melayang ke atas jok. Seorang ibu mengumpat. Tapi aku mesem-mesem sambil meminta maaf.

Kembali kulihat sms dari Pringa, teman penaku yang tinggal berlainan kota denganku. Dia memberikan kejutan yang sangat membunga hatiku. Bagaimana tidak, dia memesan hampir dua ribu potong kue basah per hari selama seminggu untuk acara seminar di tempat kerja mamanya.. Itu adalah berkah yang tiada terkira buat ibu, dan tentu diriku juga. 

Selama ini ibu memang membuat kue basah. Pagi sekali, saat tetangga-tetangga masih tertidur, ibu sudah mengadon kue di dapur. Tertunduk-tunduk, sehingga aku takut suatu saat punggung ibu tak bisa ditegakkan. Aku biasanya turut membantu, menyusun kue yang sudah dipotong-potong dan memasukkannya ke kotak plastik. Semua kue itu akan dititipkan ke warung-warung. Bahkan bila tak terlalu sibuk, aku menitipkannya di kantin sekolah.

Ibu berharap dalam beberapa minggu ini bisa mengumpulkan cukup uang. Kakak tertuaku akan melamar kekasih pujaannya yang masih sekota dengan kami. Kakak bekerja di sebuah perusahaan konveksi sebagai pekerja kasar. Gajinya kecil, sehingga pasti tak bisa mencukupi biaya lamar-lamararan. Ibu ingin menambahinya, sehingga pihak mempelai perempuan merasa dihargai. Meski pihak mempelai perempuan telah menyanggupi membiaya pesta pernihakan dan segala tetek-bengek yang menyertainya.

Dua ribu potong kue? Hmm, satu kue seharga seribu rupiah. Keuntungan ibu sekitar dua ratus rupiah. Dua ratus dikalikan dua ribu, empat ratus ribu rupiah. Dikalikan tujuh hari, dua juta delapan ratus ribu rupiah. Wah, cukuplah membantu biaya lamar-lamaran kakak. Pringa juga telah meringankan pekerjaan kami, karena mobil kantor mamanyalah yang menjemput seluruh kue pesanan itu.

"Apa? Dua ribu kue sehari?" Ibu membelalak. Kupikir dia kesenangan. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Rejeki memang tak ke mana.

"Iya, Bu! Pokoknya bisalah menambahi biaya lamar-lamaran kakak." Aku berjalan ke kamar. Kutaruh tas di atas meja. Kemudian pergi ke dapur. Segelas air dingin segera menyemayami lambungku yang mengering. 

Ibu mengekoriku. Kulihat ujung rambut di bagian kening atas ibu, terjuntai kusut ke depan. Itu artinya pikirannya juga kusut. Pasal apa? Mungkinkah dia tak senang mendengar pesanan kue yang berjibun itu? Bukankah ibu yang mengharap-harap demikian?

"Ibu kok sedih?" tanyaku mengelus pundak ibu, ketika dia duduk lesu di atas kursi.

"Ibu senang-senang saja, Maya! Tapi kau tak berpikir bagaimana susahnya memenuhi pesanan kue sampai dua ribu potong sehari? Tangan ibu cuma dua. Tanganmu dua. Bagaimana bisa, Maya?" Ibu menatapku kuyu. "Apakah pesanan itu sudah kau setujui." Aku mengangguk. Dia semakin kuyu menatapku.

Tapi aku tak boleh patah semangat. Semua harus berjalan sebagaimana mestinya. Segera kudatangi rumah Arif. Dia adalah kakak kelasku, yang kebetulan pernah mengatakan ingin menjadi pacarku. Ya, aku harus memasang muka tembok. Arif memiliki teman lumayan banyak. Dan rata-rata mereka putus sekolah. Bagaimana kalau tenaga mereka kumanfaatkan? Mengenai keinginan Arif menjadi pacarku, bisa kuiyakan di lain waktu. Jujur saja, aku juga menaruh hati kepadanya.

Arif langsung tersenyum bangga ketika melihatku di pintu pagar rumahnya. Lebih tersenyum bangga lagi ketika aku mengatakan ingin mengajak teman-temannya membantu ibuku menyiapkan dua ribu potong kue pesanan per hari selama seminggu.

"Aku salut kepadamu, Maya! Kau sangat gigih menjalani hidup ini. Jujur, aku semakin menyenangimu," katanya.

"Sudahlah! Terima kasih dulu untuk masalah senang-senangan. Bantu aku, ya? Kalau bisa ajak temanmu yang cewek. Cowok kan kurang faham urusan dapur," kataku. Arif langsung mengacungkan dua jempol tangan.

Segera kutemui ibu. Kukatakan masalah bantuan untuk menyelesaian pesanan kue itu tak usah dipusingkan lagi. 

"Tapi ibu  masih ragu. Biar pun pekerjaan membuat kue itu dibantu orang lain, bukankah jumlah perangkat pembuat kue kita  tak memadai?"

"Tak masalah, Bu! Temanku pernah menawarkan kalau butuh tambahan perangkat pembuat kue, di rumahnya ada stock. Tak usah disewa. Gratis saja."

"Ya, terserah kaulah, Maya!"

* * *

Aku sangat bersemangat, sehingga ketika kakak pulang larut dari perusahaan konveksi, aku langsung menyambutnya dengan todongan pesanan dua ribu potong kue. "Pokoknya kita tak akan malu ketika acara lamar-lamaran nanti, Kak!" kataku setengah menjerit.

Kakak diam saja. Dia tanpa ekspresi ketika membuka kaos kaki dan sepatu, lalu meletakkannya di rak. Aku bingung. Apa yang membuat kakak menjadi lesu? Dia nyaris serupa ibu, sama sekali tak bergairah mendengar pesanan dua ribu potong kue itu.

Aku langsung memanaskan sop sayur. Menggoreng sejumput kerupuk, juga sebutir telor ceplok. Semuanya kuhidangkan di atas meja makan. Aku duduk menghadapinya sambil bertopang dagu, sampai kakak muncul dan duduk di sebelahku.

Dia menyendukkan nasi ke piringnya sambil bertanya, "Sudah makan?" Aku mengangguk lesu. Dia tersenyum, seperti pura-pura saja. "Kok manyun begitu?"

"Aku hanya kesal karena ibu dan kakak sama-sama dingin mendengar pesanan kue dua ribu potong itu. Apa yang terjadi, Kak? Apa ada yang dirahasiakan? Kakak batal lamar-lamaran?" kejarku.

"Salah satunya itu!" tekannya. Aku bagai tersambar petir.

"Kenapa?"

"Karena kita harus mengurusi persoalan yang sangat penting, Maya. Jadi, lamar-lamaran dibatalkan sementara. Kalau sudah semua aman, baru direncanakan lebih matang," jelasnya. Tapi penjelasannya bertambah membingungkanku. "Aku akan memberitahumu persoalan besar itu. Sanak-saudara mendiang ayah merencanakan menjual rumah yang kita tempati ini. Dan pembelinya sudah ada. Minggu depan kita harus mengosongkan rumah ini."

Mulutku menganga. Kurasakan ribuan potong kue menerobos masuk ke dalamnya. Oh, Tuhan. Apa yang harus kulakukan? Kata pembatalan apa yang paling baik  kuucapkan kepada Pringa?

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun