Arif langsung tersenyum bangga ketika melihatku di pintu pagar rumahnya. Lebih tersenyum bangga lagi ketika aku mengatakan ingin mengajak teman-temannya membantu ibuku menyiapkan dua ribu potong kue pesanan per hari selama seminggu.
"Aku salut kepadamu, Maya! Kau sangat gigih menjalani hidup ini. Jujur, aku semakin menyenangimu," katanya.
"Sudahlah! Terima kasih dulu untuk masalah senang-senangan. Bantu aku, ya? Kalau bisa ajak temanmu yang cewek. Cowok kan kurang faham urusan dapur," kataku. Arif langsung mengacungkan dua jempol tangan.
Segera kutemui ibu. Kukatakan masalah bantuan untuk menyelesaian pesanan kue itu tak usah dipusingkan lagi.Â
"Tapi ibu  masih ragu. Biar pun pekerjaan membuat kue itu dibantu orang lain, bukankah jumlah perangkat pembuat kue kita  tak memadai?"
"Tak masalah, Bu! Temanku pernah menawarkan kalau butuh tambahan perangkat pembuat kue, di rumahnya ada stock. Tak usah disewa. Gratis saja."
"Ya, terserah kaulah, Maya!"
* * *
Aku sangat bersemangat, sehingga ketika kakak pulang larut dari perusahaan konveksi, aku langsung menyambutnya dengan todongan pesanan dua ribu potong kue. "Pokoknya kita tak akan malu ketika acara lamar-lamaran nanti, Kak!" kataku setengah menjerit.
Kakak diam saja. Dia tanpa ekspresi ketika membuka kaos kaki dan sepatu, lalu meletakkannya di rak. Aku bingung. Apa yang membuat kakak menjadi lesu? Dia nyaris serupa ibu, sama sekali tak bergairah mendengar pesanan dua ribu potong kue itu.
Aku langsung memanaskan sop sayur. Menggoreng sejumput kerupuk, juga sebutir telor ceplok. Semuanya kuhidangkan di atas meja makan. Aku duduk menghadapinya sambil bertopang dagu, sampai kakak muncul dan duduk di sebelahku.