Dia menyendukkan nasi ke piringnya sambil bertanya, "Sudah makan?" Aku mengangguk lesu. Dia tersenyum, seperti pura-pura saja. "Kok manyun begitu?"
"Aku hanya kesal karena ibu dan kakak sama-sama dingin mendengar pesanan kue dua ribu potong itu. Apa yang terjadi, Kak? Apa ada yang dirahasiakan? Kakak batal lamar-lamaran?" kejarku.
"Salah satunya itu!" tekannya. Aku bagai tersambar petir.
"Kenapa?"
"Karena kita harus mengurusi persoalan yang sangat penting, Maya. Jadi, lamar-lamaran dibatalkan sementara. Kalau sudah semua aman, baru direncanakan lebih matang," jelasnya. Tapi penjelasannya bertambah membingungkanku. "Aku akan memberitahumu persoalan besar itu. Sanak-saudara mendiang ayah merencanakan menjual rumah yang kita tempati ini. Dan pembelinya sudah ada. Minggu depan kita harus mengosongkan rumah ini."
Mulutku menganga. Kurasakan ribuan potong kue menerobos masuk ke dalamnya. Oh, Tuhan. Apa yang harus kulakukan? Kata pembatalan apa yang paling baik  kuucapkan kepada Pringa?
---sekian---