Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Infak Sepuluh Ribu Perak

12 Mei 2024   09:27 Diperbarui: 12 Mei 2024   10:55 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kembali Hanif kecewa. Tak ada nama ayahnya dalam daftar donatur renovasi masjid di pemukiman mereka yang dibacakan sebelum khutbah Jumat. Sementara, nama ayah teman-temannya satu per satu disebutkan.

"Kenapa Ayah nggak ikut nyumbang? Kan, Ayah kaya." Anak lelaki sepuluh tahun itu bertanya risau dalam hati. Sejak sebulan lalu daftar donatur selalu diumumkan sebelum khatib naik mimbar. Pengumuman yang biasanya tidak menarik minat orang itu selalu didengarkan Hanif dengan cermat. Ia berharap nama Ir. H. Abdul Manan, ayahnya, disebutkan.

Mereka adalah keluarga terkaya di kompleks perumahan itu. Pak Manan membeli empat kaveling lahan. Kebetulan ia bisa mendapatkan kaveling dengan dua kaveling saling berpunggungan sehingga bentuk tanahnya tidak terlalu memanjang. Sebagian kecil saja bagian lahan yang dijadikan rumah. Rumah yang tidak besar, anggun, terkesan ramah itu tampak dirancang oleh seorang arsitek berselera tinggi, tetapi tak tinggi hati.  Hanya sedikit orang yang tahu arsitek itu ialah istri Pak Manan, ibunda Hanif. Sebagian besar lahan dijadikan taman dan lapangan rumput kecil yang biasa dipakai Hanif dan kawan-kawannya bermain bola. Dulu. Sekarang, tak ada lagi temannya yang mau diajak bermain di sana.

"Ayahmu pelit!"

Itu alasan mereka enggan bermain bola lagi bersama Hanif. Anak semata wayang Pak Manan itu sedih, bingung, dan kesepian. Kenapa ayahnya dibilang pelit. Atau ayahnya memang pelit? Itu sebab ia tak ikut menyumbang pembangunan masjid?

"Kaya, tapi pelit." Sering ia diejek begitu. Pengumuman nama-nama donatur pada setiap Jumat semakin memperburuk keadaan. Padahal, Hanif tak pernah pelit. Kalau ada makanan, dibaginya ke teman-teman. Dulu, sehabis main bola, selalu ada minuman manis rasa jeruk atau buah lain beserta penganan kecil buat kawan-kawannya. Lagi, kalau pun benar ayahnya pelit, mengapa ia yang dijauhi?

Beberapa kali Hanif mengadu kepada Ibu. Ibu hanya tersenyum. Senyuman yang pahit. Suaminya, memang tak disukai oleh beberapa warga di kompleks. Kebanyakan dari mereka ialah ayah kawan-kawan Hanif. Ada beberapa sebab yang tampaknya membuat ayah Hanif tidak disukai. Pertama, Pak Manan jarang shalat Jumat di masjid dekat kompleks. Jarang pula ia berkumpul dengan warga. Ia sering bepergian untuk urusan bisnis. Kedua, sering Pak Manan tidak ikut menyumbang dana untuk kegiatan warga seperti merayakan hari kemerdekaan atau tahun baru. Sering proposal minta dana datang ke rumah indah itu. Sering proposal itu dikembalikan tanpa disertai sedikit pun bantuan dana. Pak Manan melarang keras istrinya untuk menyumbang.

"Biar aku yang bereskan." Begitu selalu ucapnya.

Pernah beberapa warga mendesak Pak RT agar menegur Pak Manan dan agak memaksanya untuk ikut serta dalam kegiatan warga. Paling tidak, ikut memberikan bantuan dana. Atas desakan itu, Pak RT hanya tersenyum dan mengiyakan. Tetapi, tak ada perubahan. Pak RT tak pernah serius menindaklanjuti desakan warga. Ia menyimpan satu rahasia tentang pribadi Pak Manan. Rahasia yang serapat mungkin ia tahan.

Pada suatu Jumat beberapa minggu kemudian terjadi keriuhan di masjid. Pasalnya adalah pengumuman rutin terkait dana renovasi masjid. Rupa-rupanya orang ramai itu punya telinga yang sensitif untuk mendengarkan sesuatu yang aneh bin janggal. Pengumuman dana yang biasanya tidak menarik, Jumat itu berubah menjadi menghebohkan. Orang-orang mendengar ada sumbangan sebesar sepuluh ribu rupiah atas nama Ir. H. Abdul Manan. Sebagian dari mereka menahan tawa. Sebagian lagi bergumam tak jelas. Sekilas seperti dengungan ribuan lebah. Sementara Hanif tersenyum senang. Akhirnya, didengarnya nama sang ayah disebutkan.

Kasihan sungguh anak kecil yang lugu itu. Sepulang dari masjid, banyak anak mengejeknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun