Ponselku tergeletak di atas meja kayu reyot yang sudah usang, layarnya hitam pekat seperti malam tanpa secercah cahaya. Sudah seminggu berlalu sejak surat pengunduran diri itu kukirimkan---lima tahun di kantor itu, menatap layar komputer yang dingin dan tak berperasaan, menghitung angka-angka yang tak pernah benar-benar menyentuh jiwa. Tangan kananku masih gemetar saat mengingat wajah atasku, matanya menyipit di balik kacamata tebal yang selalu mengkilap di bawah lampu neon ruang rapat. Bibirnya mengeras, suaranya bergema kasar di telingaku: "Kau gila? Pangkatmu sudah di depan mata! Ini kesempatan emas, jangan buang begitu saja!" Aku hanya mengangguk pelan, tapi dada terasa sesak, seperti ditindih batu besar yang tak terlihat. Kenaikan pangkat itu? Hanya ilusi manis, seperti janji-janji yang dulu kuperjuangkan saat lulus kuliah---gaji tetap, pensiun aman, rumah kecil di pinggiran kota. Tapi setiap pagi, saat kereta penuh sesak membawaku ke gedung tinggi yang menjulang seperti penjara modern, aku merasa seperti burung yang sayapnya dipotong paksa, terbang tapi tak pernah benar-benar bebas, hanya melayang di angkasa sempit yang dibuat manusia.
Aku bangkit dari kursi plastik murah yang berderit, kaki terasa berat menapak lantai semen dingin kamar kos. Udara pengap menyengat hidung, campur bau masakan tetangga dan asap rokok dari koridor. Di depan cermin retak yang tergantung miring di dinding, bayanganku muncul samar: wajah pucat dengan mata cekung seperti sumur kering di musim kemarau, rambut acak-acakan basah oleh keringat malam yang panjang. Jari-jariku menyentuh kaca dingin itu, meninggalkan jejak kabut dari napas yang tersengal.
"Siapa kau sekarang?"
Bisikku pelan, suara serak tercekat di tenggorokan. Bayangan itu tak menjawab, hanya menatap balik dengan mata lelah yang mencerminkan tahun-tahun hilang: rapat-rapat panjang di ruang ber-AC yang membuat tulang terasa kaku seperti kayu mati, kopi hitam pahit yang kuminum bertubi-tubi untuk tetap melek di depan spreadsheet tak berujung, dan senyum paksa saat berjabat tangan dengan rekan-rekan yang sama-sama terperangkap dalam roda yang sama. Dulu, di kampung Jawa yang hijau, aku adalah anak petani yang suka duduk di tepi sawah, mencoret puisi tentang angin yang membawa rahmat Tuhan ke tanah gersang. Kini? Hanya nomor urut di daftar karyawan, bagian dari mesin besar yang menggiling mimpi rakyat kecil menjadi debu laporan triwulan, seperti penjajah zaman dulu yang merampas jiwa demi keuntungan.
Telepon berdering tiba-tiba, getarannya menggema di ruangan sunyi seperti guntur kecil. Nomor ibu. Aku angkat dengan tangan gemetar, suaranya langsung menyergap seperti hembusan angin panas dari tanah kering di desa. "Nak, ini beneran kau berhenti kerja? Ibu denger dari tante di kota, katanya jabatanmu itu... banyak yang iri, loh. Orang rela apa aja buat dapet posisi kayak gitu." Kata-katanya terputus-putus, napasnya tersengal-sengal, seolah menahan tangis yang sudah di ujung mata. Aku bisa membayangkan tangannya yang kasar---tangan yang merawat sawah seumur hidup, urat-uratnya menonjol saat memegang gagang cangkul---kini memegang telepon erat-erat, jari-jarinya memutih. "Ibu," jawabku pelan, suara hampir pecah seperti daun kering di angin, "anakmu ini... bukan pegawai negeri yang aman selamanya, Bu. Aku capek. Capek banget jadi orang lain setiap hari. Di sana, aku cuma angka, cuma laporan. Nggak ada rahmatnya, Bu. Aku pengen balik ke yang dulu, yang suka nulis cerita tentang hidup kita di desa." Hening sejenak, hanya deru napasnya yang terdengar panjang, seperti doa subuh yang tertahan di dada. "Ibu tahu, Nak. Ibu ingat dulu kau suka duduk di teras, nulis puisi sambil liat sawah. Tapi... jangan sampai lapar, ya. Kota ini kejam, Nak. Ibu doakan kau, semoga Allah kasih jalan yang lurus, yang penuh berkah. Jangan lupa salat, jangan lupa ibu." Air mataku menetes tanpa peringatan, basah di pipi, rasa asinnya meresap ke bibir yang kering. Ibuku, yang dulu menjual hasil panen untuk biayai kuliahku, kini khawatir karena mimpiku yang tak kunjung matang seperti padi di sawahnya. Bahagia? Kata itu terasa jauh sekarang, seperti masjid kecil di ujung kampung yang dulu kukunjungi untuk sholat malam, mencari ketenangan di antara bait-bait Al-Qur'an yang lembut menyentuh hati.
Aku matikan telepon, dada naik-turun. Harus keluar. Langkahku pelan menuruni tangga kos yang berderit seperti keluhan lama, udara kota pagi menyambut: bau asap knalpot bercampur aroma gorengan pinggir jalan yang menggoda tapi tak mengenyangkan jiwa, suara klakson tak henti seperti jeritan jiwa-jiwa terburu-buru mengejar roda ekonomi yang tak pernah puas. Tujuanku perpustakaan kota, tempat yang dulu jadi saksi bisu saat aku masih mahasiswa penuh mimpi---rak-rak kayu tinggi penuh buku yang seperti sahabat lama, bau kertas tua yang menenangkan seperti bau tanah basah setelah hujan rahmat di kampung. Dulu, aku duduk berjam-jam di sana, membaca Pramoedya yang menceritakan perjuangan rakyat melawan penindas zaman kolonial, kata-katanya tajam seperti parang yang membelah kegelapan, atau Habiburrahman yang membungkus cinta dan rahmat dalam cerita lembut seperti embun pagi yang turun pelan ke daun sawah. Tapi sejak kantor itu menjeratku, kunjunganku jarang sekali, seperti sungai kecil yang mengering karena tanggul ambisi duniawi yang dibangun tangan manusia.
Saat tiba di depan gedung tua itu, pintu besi berderit terbuka lebar, seolah menyambut anak hilang. Aku masuk, aroma kertas kuning dan kayu lembab langsung menyapa hidungku---bau yang hangat, seperti pelukan lama dari masa muda. Rak-rak tinggi menjulang seperti pohon-pohon di hutan desa, buku-buku berjejal rapat, punggung mereka berdebu tapi penuh rahasia. Aku berjalan pelan di antara lorong-lorong itu, jari-jariku menyusuri punggung buku-buku usang, merasakan tekstur kasar yang seperti kulit tangan ibu. Mencari apa? Pelarian dari kekacauan batin yang menggerogoti seperti rayap di kayu rapuh.
Di sudut belakang, dekat jendela yang menghadap taman kecil berumput liar, mataku tertumbuk pada sebuah buku usang tanpa sampul tebal. Kulitnya kasar dan retak seperti kulit tangan petani tua yang terbakar matahari, judulnya pudar tapi masih terbaca samar di bawah cahaya redup:Â Jalan Sunyi Seorang Penjaga Mimpi. Jantungku berdegup lebih cepat, tangan meraihnya dengan gemetar tak terkendali. Kubuka halaman pertama pelan-pelan, debu beterbangan seperti kabut pagi.
Dunia bergeser.
Rak-rak memudar pelan, cahaya perpustakaan redup seperti senja yang datang terlalu cepat, digantikan oleh taman hijau luas yang tak pernah kulihat sebelumnya---rumput lembut menggelitik telapak kaki telanjangku, bunga-bunga mekar dalam warna-warna lembut: putih suci seperti kain kafan yang siap menyambut rahmat, kuning keemasan seperti cahaya sholat Maghrib yang hangat menyentuh hati. Angin berhembus pelan, membawa aroma masjid jauh yang campur madu liar dan tanah subur yang baru digemburkan.
Di tengah taman itu, seorang lelaki tua duduk di bangku batu sederhana, wajahnya keriput seperti daun jati kering di musim hujan, tapi matanya cerah penuh cahaya iman yang tak pudar oleh waktu. Ia menoleh padaku, senyumnya lembut seperti ayah yang menyambut anak hilang pulang ke pelukan.
"Kau akhirnya datang juga, Nak."
Suara itu tenang, seperti lantunan ayat Al-Qur'an di masjid kampung saat fajar menyingsing. Aku terpaku, kaki terasa tertancap di rumput basah, napas tersengal.
"Anda... siapa? Ini di mana? Aku cuma baca buku, kok tiba-tiba..."
Ia tertawa pelan, tawa yang hangat menyentuh dada seperti hembusan angin rahmat.
"Duduklah dulu, Nak. Jangan takut. Aku penjaga mimpi yang hampir lenyap, seperti masjid tua di pinggir desa yang ditinggalkan ramai-ramai. Dan kau... kau bawa benih rahmat di hatimu yang lelah itu. Ceritakan padaku, apa yang menyiksamu? Kenapa wajahmu seperti sawah kering yang haus hujan?"
Aku duduk di sampingnya, rumput menggelitik telapak kaki---bagaimana kaki telanjang di perpustakaan? Tapi rasanya nyata, seperti kembali ke masa kecil di sawah ibu, angin malam membawa suara azan dari masjid jauh. "Aku... keluar dari kerja kemarin, Pak. Lima tahun kuhabiskan di sana, jadi budak angka dan laporan. Setiap hari rasanya jiwa terkikis, seperti tanah sawah yang digali paksa tanpa istirahat. Dulu aku ingin menulis, Pak. Seperti Pramoedya yang ceritain perjuangan rakyat kecil melawan yang kuat, kata-katanya tajam buka mata. Atau Habiburrahman, yang bungkus rahmat Tuhan dalam cerita cinta yang tenang hati. Tapi sekarang... aku takut gagal. Takut ibu kecewa, takut tagihan numpuk, takut jadi pengangguran di kota yang kejam ini. Apa gunanya mimpi kalau nggak bisa makan?"
Lelaki tua itu mengangguk pelan, tangannya yang keriput menyentuh bahuku---sentuhan ringan tapi seperti doa yang mengalir deras ke vena. Matanya menatap jauh, seolah melihat melalui dinding hati yang retak.
"Kau tak gagal, Nak. Kau hanya tersesat di jalan yang salah, jalan yang dibuat dunia ini untuk mengikat jiwa-jiwa seperti kau. Lihat ini." Ia membuka telapak tangannya yang gemetar pelan, dan di sana sebongkah cahaya emas kecil, berdenyut lembut seperti nadi hati yang hidup kembali. "Ini titipanmu dulu. Saat kau kecil, kau tanam benih ini di halaman rumah---saat kau tulis puisi pertama tentang rahmat Tuhan yang turun seperti hujan ke sawah gersang. Ingat? Kau duduk di teras bambu, angin malam bawa suara gamelan dari desa sebelah, dan kau bisik, 'Ya Rabb, jadikan kata-kataku sungai yang bawa berkah.' Itu benihmu, Nak. Jangan biarkan dunia rampas."
Aku meraih cahaya itu dengan ragu, jari-jariku menyentuhnya---hangatnya merambat ke dada seperti air sungai yang membersihkan lumpur tahun-tahun. Napasku tersengal, kilas balik menerpa: Aku kecil, duduk bersila di tanah halaman, pensil tumpul mencoret kertas bekas sambil liat bintang jatuh ke sawah gelap. Lalu, kuliah di kota besar, tekanan mencari nafkah yang seperti beban cangkul terlalu berat, dan kantor itu---dunia yang seperti penjajah modern, menggiling jiwa pekerja menjadi roda ekonomi tanpa ampun, rekan-rekan yang jatuh sakit karena stres, mimpi mereka terkubur di tumpukan file. Air mataku menetes lagi, bahu berguncang pelan.
"Kenapa aku biarkan mimpi ini mati, Pak? Kenapa aku pilih jalan aman yang bikin hati mati?"
Ia memeluk bahuku pelan, seperti ayah yang tak pernah kumiliki, suaranya lembut tapi tegas seperti ayat yang menenangkan badai.
"Karena badai dunia, Nak. Ia meniup mimpi seperti daun kering di angin kencang. Tapi kau bukan pegawai negeri yang terikat besi gajimu. Kau bukan budak roda yang menggiling rakyat kecil. Kau penjaga mimpi---titipan Allah untuk ceritakan perjuangan seperti Pramoedya, rahmat yang tersembunyi di hati lelah seperti Habiburrahman. Jagalah benih itu, tanam lagi di tanah hatimu. Dunia ini butuh ceritamu, Nak. Cerita tentang orang-orang seperti ibumu, yang berjuang di sawah demi anak, tapi hati mereka penuh rahmat."
"Tapi... bagaimana dengan ibu? Tagihan? Hidup ini keras, Pak. Kalau aku nulis, siapa yang beli? Siapa yang peduli cerita desa di kota yang sibuk ini?"
Ia angkat tangan ke udara pelan, dan pemandangan berubah seperti tirai yang tersingkap: Ibuku di kampung, tangannya yang kasar memegang buku tipis dengan sampul sederhana---bukuku yang telah terbit, judulnya samar tapi penuh cahaya. Senyumnya lebar, mata berbinar seperti saat aku pulang libur dulu, air mata bahagia menetes di pipinya yang keriput. Di sekitarnya, tetangga desa berkumpul di teras masjid, membaca ceritaku keras-keras, suara mereka bergumam penuh haru: "Ini rahmat, Bu. Anakmu bawa berkah ke desa kita." "Lihat, Nak," bisik lelaki tua itu, suaranya gemetar emosi. "Rahmat tak datang dari gaji bulanan yang dingin. Ia datang dari hati ikhlas, dari cerita yang bangunkan jiwa-jiwa tersesat. Ibumu akan bangga, karena kau pilih jalan Tuhan, bukan jalan dunia yang penuh tipu daya dan penindasan. Tulislah, Nak. Biarkan kata-katamu jadi sungai yang bawa rahmat ke yang haus."
Aku terisak, bahu berguncang hebat, air mata deras seperti hujan rahmat yang lama ditahan di langit kering. Dada ringan sekarang, seperti beban lima tahun terlepas pelan-pelan, menguap ke angin taman yang hangat. Cahaya di tanganku membentuk pena emas, berkilau seperti sinar Qur'an di mimbar masjid saat Ramadhan.
"Ini senjatamu," ujarnya lembut, mata kami bertemu penuh pengertian. "Tulislah perjuanganmu, rahmatmu. Jangan biarkan mimpi punah, Nak. Jagalah, seperti aku jagalah untukmu selama ini."
Taman memudar pelan, angin terakhir menyentuh wajahku seperti salam perpisahan yang penuh berkah. Aku kembali ke perpustakaan, buku usang hilang dari tangan, tapi pena emas hangat di saku jaket lusuhku. Duduk di kursi kayu yang berderit, tangan gemetar meraih ponsel yang tadi kubiarkan. Notifikasi berkedip pelan: "Naskah novel Anda diterima oleh tim redaksi. Selamat, ini cerita yang menyentuh hati kami dalam---penuh perjuangan dan rahmat. Mari kita bahas lebih lanjut." Napasku tersengal bahagia, senyum pertama yang asli muncul di bibir---bukan senyum paksaan di koridor kantor, tapi senyum yang lahir dari hati yang bebas.
Aku bangkit perlahan, langkah ringan keluar pintu perpustakaan. Angin siang kota terasa berbeda sekarang, seperti hembusan rahmat dari langit biru yang luas dan tak bertepi. Aku bukan pegawai negeri yang terikat rutinitas besi. Aku penjaga mimpi---titipan Tuhan untuk ceritakan rahmat di tengah perjuangan rakyat kecil. Dan di suatu sudut kota yang ramai ini, mungkin ada jiwa lain yang akan temukan cahayanya melalui kata-kataku, seperti benih yang kutanam dulu. ***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI