Di tengah taman itu, seorang lelaki tua duduk di bangku batu sederhana, wajahnya keriput seperti daun jati kering di musim hujan, tapi matanya cerah penuh cahaya iman yang tak pudar oleh waktu. Ia menoleh padaku, senyumnya lembut seperti ayah yang menyambut anak hilang pulang ke pelukan.
"Kau akhirnya datang juga, Nak."
Suara itu tenang, seperti lantunan ayat Al-Qur'an di masjid kampung saat fajar menyingsing. Aku terpaku, kaki terasa tertancap di rumput basah, napas tersengal.
"Anda... siapa? Ini di mana? Aku cuma baca buku, kok tiba-tiba..."
Ia tertawa pelan, tawa yang hangat menyentuh dada seperti hembusan angin rahmat.
"Duduklah dulu, Nak. Jangan takut. Aku penjaga mimpi yang hampir lenyap, seperti masjid tua di pinggir desa yang ditinggalkan ramai-ramai. Dan kau... kau bawa benih rahmat di hatimu yang lelah itu. Ceritakan padaku, apa yang menyiksamu? Kenapa wajahmu seperti sawah kering yang haus hujan?"
Aku duduk di sampingnya, rumput menggelitik telapak kaki---bagaimana kaki telanjang di perpustakaan? Tapi rasanya nyata, seperti kembali ke masa kecil di sawah ibu, angin malam membawa suara azan dari masjid jauh. "Aku... keluar dari kerja kemarin, Pak. Lima tahun kuhabiskan di sana, jadi budak angka dan laporan. Setiap hari rasanya jiwa terkikis, seperti tanah sawah yang digali paksa tanpa istirahat. Dulu aku ingin menulis, Pak. Seperti Pramoedya yang ceritain perjuangan rakyat kecil melawan yang kuat, kata-katanya tajam buka mata. Atau Habiburrahman, yang bungkus rahmat Tuhan dalam cerita cinta yang tenang hati. Tapi sekarang... aku takut gagal. Takut ibu kecewa, takut tagihan numpuk, takut jadi pengangguran di kota yang kejam ini. Apa gunanya mimpi kalau nggak bisa makan?"
Lelaki tua itu mengangguk pelan, tangannya yang keriput menyentuh bahuku---sentuhan ringan tapi seperti doa yang mengalir deras ke vena. Matanya menatap jauh, seolah melihat melalui dinding hati yang retak.
"Kau tak gagal, Nak. Kau hanya tersesat di jalan yang salah, jalan yang dibuat dunia ini untuk mengikat jiwa-jiwa seperti kau. Lihat ini." Ia membuka telapak tangannya yang gemetar pelan, dan di sana sebongkah cahaya emas kecil, berdenyut lembut seperti nadi hati yang hidup kembali. "Ini titipanmu dulu. Saat kau kecil, kau tanam benih ini di halaman rumah---saat kau tulis puisi pertama tentang rahmat Tuhan yang turun seperti hujan ke sawah gersang. Ingat? Kau duduk di teras bambu, angin malam bawa suara gamelan dari desa sebelah, dan kau bisik, 'Ya Rabb, jadikan kata-kataku sungai yang bawa berkah.' Itu benihmu, Nak. Jangan biarkan dunia rampas."
Aku meraih cahaya itu dengan ragu, jari-jariku menyentuhnya---hangatnya merambat ke dada seperti air sungai yang membersihkan lumpur tahun-tahun. Napasku tersengal, kilas balik menerpa: Aku kecil, duduk bersila di tanah halaman, pensil tumpul mencoret kertas bekas sambil liat bintang jatuh ke sawah gelap. Lalu, kuliah di kota besar, tekanan mencari nafkah yang seperti beban cangkul terlalu berat, dan kantor itu---dunia yang seperti penjajah modern, menggiling jiwa pekerja menjadi roda ekonomi tanpa ampun, rekan-rekan yang jatuh sakit karena stres, mimpi mereka terkubur di tumpukan file. Air mataku menetes lagi, bahu berguncang pelan.
"Kenapa aku biarkan mimpi ini mati, Pak? Kenapa aku pilih jalan aman yang bikin hati mati?"