Ia memeluk bahuku pelan, seperti ayah yang tak pernah kumiliki, suaranya lembut tapi tegas seperti ayat yang menenangkan badai.
"Karena badai dunia, Nak. Ia meniup mimpi seperti daun kering di angin kencang. Tapi kau bukan pegawai negeri yang terikat besi gajimu. Kau bukan budak roda yang menggiling rakyat kecil. Kau penjaga mimpi---titipan Allah untuk ceritakan perjuangan seperti Pramoedya, rahmat yang tersembunyi di hati lelah seperti Habiburrahman. Jagalah benih itu, tanam lagi di tanah hatimu. Dunia ini butuh ceritamu, Nak. Cerita tentang orang-orang seperti ibumu, yang berjuang di sawah demi anak, tapi hati mereka penuh rahmat."
"Tapi... bagaimana dengan ibu? Tagihan? Hidup ini keras, Pak. Kalau aku nulis, siapa yang beli? Siapa yang peduli cerita desa di kota yang sibuk ini?"
Ia angkat tangan ke udara pelan, dan pemandangan berubah seperti tirai yang tersingkap: Ibuku di kampung, tangannya yang kasar memegang buku tipis dengan sampul sederhana---bukuku yang telah terbit, judulnya samar tapi penuh cahaya. Senyumnya lebar, mata berbinar seperti saat aku pulang libur dulu, air mata bahagia menetes di pipinya yang keriput. Di sekitarnya, tetangga desa berkumpul di teras masjid, membaca ceritaku keras-keras, suara mereka bergumam penuh haru: "Ini rahmat, Bu. Anakmu bawa berkah ke desa kita." "Lihat, Nak," bisik lelaki tua itu, suaranya gemetar emosi. "Rahmat tak datang dari gaji bulanan yang dingin. Ia datang dari hati ikhlas, dari cerita yang bangunkan jiwa-jiwa tersesat. Ibumu akan bangga, karena kau pilih jalan Tuhan, bukan jalan dunia yang penuh tipu daya dan penindasan. Tulislah, Nak. Biarkan kata-katamu jadi sungai yang bawa rahmat ke yang haus."
Aku terisak, bahu berguncang hebat, air mata deras seperti hujan rahmat yang lama ditahan di langit kering. Dada ringan sekarang, seperti beban lima tahun terlepas pelan-pelan, menguap ke angin taman yang hangat. Cahaya di tanganku membentuk pena emas, berkilau seperti sinar Qur'an di mimbar masjid saat Ramadhan.
"Ini senjatamu," ujarnya lembut, mata kami bertemu penuh pengertian. "Tulislah perjuanganmu, rahmatmu. Jangan biarkan mimpi punah, Nak. Jagalah, seperti aku jagalah untukmu selama ini."
Taman memudar pelan, angin terakhir menyentuh wajahku seperti salam perpisahan yang penuh berkah. Aku kembali ke perpustakaan, buku usang hilang dari tangan, tapi pena emas hangat di saku jaket lusuhku. Duduk di kursi kayu yang berderit, tangan gemetar meraih ponsel yang tadi kubiarkan. Notifikasi berkedip pelan: "Naskah novel Anda diterima oleh tim redaksi. Selamat, ini cerita yang menyentuh hati kami dalam---penuh perjuangan dan rahmat. Mari kita bahas lebih lanjut." Napasku tersengal bahagia, senyum pertama yang asli muncul di bibir---bukan senyum paksaan di koridor kantor, tapi senyum yang lahir dari hati yang bebas.
Aku bangkit perlahan, langkah ringan keluar pintu perpustakaan. Angin siang kota terasa berbeda sekarang, seperti hembusan rahmat dari langit biru yang luas dan tak bertepi. Aku bukan pegawai negeri yang terikat rutinitas besi. Aku penjaga mimpi---titipan Tuhan untuk ceritakan rahmat di tengah perjuangan rakyat kecil. Dan di suatu sudut kota yang ramai ini, mungkin ada jiwa lain yang akan temukan cahayanya melalui kata-kataku, seperti benih yang kutanam dulu. ***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI