Ponselku tergeletak di atas meja kayu reyot yang sudah usang, layarnya hitam pekat seperti malam tanpa secercah cahaya. Sudah seminggu berlalu sejak surat pengunduran diri itu kukirimkan---lima tahun di kantor itu, menatap layar komputer yang dingin dan tak berperasaan, menghitung angka-angka yang tak pernah benar-benar menyentuh jiwa. Tangan kananku masih gemetar saat mengingat wajah atasku, matanya menyipit di balik kacamata tebal yang selalu mengkilap di bawah lampu neon ruang rapat. Bibirnya mengeras, suaranya bergema kasar di telingaku: "Kau gila? Pangkatmu sudah di depan mata! Ini kesempatan emas, jangan buang begitu saja!" Aku hanya mengangguk pelan, tapi dada terasa sesak, seperti ditindih batu besar yang tak terlihat. Kenaikan pangkat itu? Hanya ilusi manis, seperti janji-janji yang dulu kuperjuangkan saat lulus kuliah---gaji tetap, pensiun aman, rumah kecil di pinggiran kota. Tapi setiap pagi, saat kereta penuh sesak membawaku ke gedung tinggi yang menjulang seperti penjara modern, aku merasa seperti burung yang sayapnya dipotong paksa, terbang tapi tak pernah benar-benar bebas, hanya melayang di angkasa sempit yang dibuat manusia.
KEMBALI KE ARTIKEL