Mohon tunggu...
Reyhan Ferdiansyah
Reyhan Ferdiansyah Mohon Tunggu... Pelajar

Saya Reyhan Ferdiansyah, seorang pelajar yang menemukan rumah dalam kata-kata. Menulis cerpen dan karya fiksi menjadi cara saya memahami dunia — atau setidaknya, menciptakan dunia yang bisa saya pahami. Saya suka mengeksplorasi emosi manusia, membingkainya dalam cerita sederhana yang kadang dekat, kadang asing, tapi selalu jujur. Saya orang yang penasaran, kadang terlalu banyak berpikir, tapi selalu siap belajar. Menulis bagi saya bukan sekadar hobi, melainkan ruang untuk bernapas dan bertumbuh. Lewat tulisan, saya berharap bisa meninggalkan jejak, meski sekecil apapun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Bukan Pegawai Negeri

7 Oktober 2025   10:46 Diperbarui: 7 Oktober 2025   10:46 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Ponselku tergeletak di atas meja kayu reyot yang sudah usang, layarnya hitam pekat seperti malam tanpa secercah cahaya. Sudah seminggu berlalu sejak surat pengunduran diri itu kukirimkan---lima tahun di kantor itu, menatap layar komputer yang dingin dan tak berperasaan, menghitung angka-angka yang tak pernah benar-benar menyentuh jiwa. Tangan kananku masih gemetar saat mengingat wajah atasku, matanya menyipit di balik kacamata tebal yang selalu mengkilap di bawah lampu neon ruang rapat. Bibirnya mengeras, suaranya bergema kasar di telingaku: "Kau gila? Pangkatmu sudah di depan mata! Ini kesempatan emas, jangan buang begitu saja!" Aku hanya mengangguk pelan, tapi dada terasa sesak, seperti ditindih batu besar yang tak terlihat. Kenaikan pangkat itu? Hanya ilusi manis, seperti janji-janji yang dulu kuperjuangkan saat lulus kuliah---gaji tetap, pensiun aman, rumah kecil di pinggiran kota. Tapi setiap pagi, saat kereta penuh sesak membawaku ke gedung tinggi yang menjulang seperti penjara modern, aku merasa seperti burung yang sayapnya dipotong paksa, terbang tapi tak pernah benar-benar bebas, hanya melayang di angkasa sempit yang dibuat manusia.

Aku bangkit dari kursi plastik murah yang berderit, kaki terasa berat menapak lantai semen dingin kamar kos. Udara pengap menyengat hidung, campur bau masakan tetangga dan asap rokok dari koridor. Di depan cermin retak yang tergantung miring di dinding, bayanganku muncul samar: wajah pucat dengan mata cekung seperti sumur kering di musim kemarau, rambut acak-acakan basah oleh keringat malam yang panjang. Jari-jariku menyentuh kaca dingin itu, meninggalkan jejak kabut dari napas yang tersengal.

"Siapa kau sekarang?"

Bisikku pelan, suara serak tercekat di tenggorokan. Bayangan itu tak menjawab, hanya menatap balik dengan mata lelah yang mencerminkan tahun-tahun hilang: rapat-rapat panjang di ruang ber-AC yang membuat tulang terasa kaku seperti kayu mati, kopi hitam pahit yang kuminum bertubi-tubi untuk tetap melek di depan spreadsheet tak berujung, dan senyum paksa saat berjabat tangan dengan rekan-rekan yang sama-sama terperangkap dalam roda yang sama. Dulu, di kampung Jawa yang hijau, aku adalah anak petani yang suka duduk di tepi sawah, mencoret puisi tentang angin yang membawa rahmat Tuhan ke tanah gersang. Kini? Hanya nomor urut di daftar karyawan, bagian dari mesin besar yang menggiling mimpi rakyat kecil menjadi debu laporan triwulan, seperti penjajah zaman dulu yang merampas jiwa demi keuntungan.

Telepon berdering tiba-tiba, getarannya menggema di ruangan sunyi seperti guntur kecil. Nomor ibu. Aku angkat dengan tangan gemetar, suaranya langsung menyergap seperti hembusan angin panas dari tanah kering di desa. "Nak, ini beneran kau berhenti kerja? Ibu denger dari tante di kota, katanya jabatanmu itu... banyak yang iri, loh. Orang rela apa aja buat dapet posisi kayak gitu." Kata-katanya terputus-putus, napasnya tersengal-sengal, seolah menahan tangis yang sudah di ujung mata. Aku bisa membayangkan tangannya yang kasar---tangan yang merawat sawah seumur hidup, urat-uratnya menonjol saat memegang gagang cangkul---kini memegang telepon erat-erat, jari-jarinya memutih. "Ibu," jawabku pelan, suara hampir pecah seperti daun kering di angin, "anakmu ini... bukan pegawai negeri yang aman selamanya, Bu. Aku capek. Capek banget jadi orang lain setiap hari. Di sana, aku cuma angka, cuma laporan. Nggak ada rahmatnya, Bu. Aku pengen balik ke yang dulu, yang suka nulis cerita tentang hidup kita di desa." Hening sejenak, hanya deru napasnya yang terdengar panjang, seperti doa subuh yang tertahan di dada. "Ibu tahu, Nak. Ibu ingat dulu kau suka duduk di teras, nulis puisi sambil liat sawah. Tapi... jangan sampai lapar, ya. Kota ini kejam, Nak. Ibu doakan kau, semoga Allah kasih jalan yang lurus, yang penuh berkah. Jangan lupa salat, jangan lupa ibu." Air mataku menetes tanpa peringatan, basah di pipi, rasa asinnya meresap ke bibir yang kering. Ibuku, yang dulu menjual hasil panen untuk biayai kuliahku, kini khawatir karena mimpiku yang tak kunjung matang seperti padi di sawahnya. Bahagia? Kata itu terasa jauh sekarang, seperti masjid kecil di ujung kampung yang dulu kukunjungi untuk sholat malam, mencari ketenangan di antara bait-bait Al-Qur'an yang lembut menyentuh hati.

Aku matikan telepon, dada naik-turun. Harus keluar. Langkahku pelan menuruni tangga kos yang berderit seperti keluhan lama, udara kota pagi menyambut: bau asap knalpot bercampur aroma gorengan pinggir jalan yang menggoda tapi tak mengenyangkan jiwa, suara klakson tak henti seperti jeritan jiwa-jiwa terburu-buru mengejar roda ekonomi yang tak pernah puas. Tujuanku perpustakaan kota, tempat yang dulu jadi saksi bisu saat aku masih mahasiswa penuh mimpi---rak-rak kayu tinggi penuh buku yang seperti sahabat lama, bau kertas tua yang menenangkan seperti bau tanah basah setelah hujan rahmat di kampung. Dulu, aku duduk berjam-jam di sana, membaca Pramoedya yang menceritakan perjuangan rakyat melawan penindas zaman kolonial, kata-katanya tajam seperti parang yang membelah kegelapan, atau Habiburrahman yang membungkus cinta dan rahmat dalam cerita lembut seperti embun pagi yang turun pelan ke daun sawah. Tapi sejak kantor itu menjeratku, kunjunganku jarang sekali, seperti sungai kecil yang mengering karena tanggul ambisi duniawi yang dibangun tangan manusia.

Saat tiba di depan gedung tua itu, pintu besi berderit terbuka lebar, seolah menyambut anak hilang. Aku masuk, aroma kertas kuning dan kayu lembab langsung menyapa hidungku---bau yang hangat, seperti pelukan lama dari masa muda. Rak-rak tinggi menjulang seperti pohon-pohon di hutan desa, buku-buku berjejal rapat, punggung mereka berdebu tapi penuh rahasia. Aku berjalan pelan di antara lorong-lorong itu, jari-jariku menyusuri punggung buku-buku usang, merasakan tekstur kasar yang seperti kulit tangan ibu. Mencari apa? Pelarian dari kekacauan batin yang menggerogoti seperti rayap di kayu rapuh.

Di sudut belakang, dekat jendela yang menghadap taman kecil berumput liar, mataku tertumbuk pada sebuah buku usang tanpa sampul tebal. Kulitnya kasar dan retak seperti kulit tangan petani tua yang terbakar matahari, judulnya pudar tapi masih terbaca samar di bawah cahaya redup: Jalan Sunyi Seorang Penjaga Mimpi. Jantungku berdegup lebih cepat, tangan meraihnya dengan gemetar tak terkendali. Kubuka halaman pertama pelan-pelan, debu beterbangan seperti kabut pagi.

Dunia bergeser.

Rak-rak memudar pelan, cahaya perpustakaan redup seperti senja yang datang terlalu cepat, digantikan oleh taman hijau luas yang tak pernah kulihat sebelumnya---rumput lembut menggelitik telapak kaki telanjangku, bunga-bunga mekar dalam warna-warna lembut: putih suci seperti kain kafan yang siap menyambut rahmat, kuning keemasan seperti cahaya sholat Maghrib yang hangat menyentuh hati. Angin berhembus pelan, membawa aroma masjid jauh yang campur madu liar dan tanah subur yang baru digemburkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun