Dan di detik itu... ia terkejut luar biasa.
Hidungnya... hasil oplas. Bentuknya lebih mancung, lebih rapi, sempurna secara simetris. Haikal menahan napas, jantungnya seakan berhenti. Semua adrenalin pagi ini meledak bersamaan: terkejut, marah, kecewa, sedih.
"Rike... kenapa? Untuk apa? Kenapa nggak bilang ke aku?" suaranya bergetar, mata berkaca-kaca.
Rike hanya menunduk, napasnya tertahan.
"Maaf, Haikal... aku salah... ini semua karena aku ingin tetap cantik di mata kamu... bukan untuk orang lain."
Haikal menggenggam setir, mencoba menahan emosi yang bergolak. Suara klakson nyaring bersahutan dari belakang karena mobilnya menghalangi jalan. Ia menarik napas panjang, menoleh, lalu memutar mobil sedikit demi sedikit sambil tetap menatap Rike.
"Rike, kenapa kamu bohonng???...., izinnya wisata ke Korea, ko malah seperti ini ?"
"Kamu pasti sadar melakukan semua ini kan ?, Rike... oplas dilarang agama! Kamu tahu itu!" suaranya pecah, tapi tetap berusaha menahan diri.
"Ya Allah... aku merasa gagal... belum mampu menjaga iman istriku, belum jadi suami yang baik..."
"Rike... apa gunanya hijab itu kalau maknanya tak pernah kau resapi?" Haikal menghela napas panjang, kepalanya digelengkan lemah berkali-kali, tangan kirinya menekan dahi seakan menahan pecahnya batin.
Sesekali ia menundukkan kepala, lalu kembali menatap lurus ke depan.
"Apa bedanya kamu dengan Pamela? Dia transpuan, dia berjuang mati-matian mengubah dirinya supaya dunia mau menerima. Aku bisa paham kenapa dia lakukan itu. Tapi kamu? Kamu dilahirkan cantik, Rike...... Cantik sejak awal...., tanpa harus dirubah. Lalu kenapa sekarang kau malah memilih jalan yang sama? Mengubah dirimu sampai aku hampir tak mengenalimu lagi. Kau ini istriku, tapi wajah di hadapanku seperti orang asing."
Kembali Haikal menghela nafas panjang.