Haikal menunduk sebentar, suaranya parau.
"Kau tahu apa yang paling menyakitkan? Bukan wajahmu yang berubah. Tapi hatimu yang tak percaya bahwa aku mencintaimu apa adanya. Kau lebih percaya pada pisau operasi ketimbang kata-kata suamimu sendiri."
Rike menunduk, meneteskan air mata, tapi tetap diam.
Haikal terus mengoceh kadang keras kadang lembut, hati dan pikirannya bercampur: marah, kecewa, sedih, tapi juga cinta yang mendalam.
Mata mereka bertemu sesaat, dan dunia seakan berhenti. Hening merayap, tebal, mengisi setiap celah kabin. Kedua hati bergejolak---panas, cemas, retak---tapi kata-kata tak sanggup menembus udara yang kaku.
Setiap nafas seakan menahan gelombang perasaan yang menekan di dada. Di luar, kota berdenyut: kendaraan berlalu, suara orang bersahutan, hiruk-pikuk yang tak pernah tidur. Tapi di dalam mobil, hanya ada mereka berdua---dua jiwa yang diam-diam bertarung, rahasia yang baru terbuka, ketegangan yang melekat di setiap detik.
Mobil meluncur pelan meninggalkan bandara. Jakarta berkilau dalam cahaya siang, gedung-gedung menjulang seperti menonton diam, bayangan pohon dan trotoar menari-nari di aspal. Mereka duduk bersebelahan, tapi jarak terasa tak terukur---hanya beberapa inci, tapi terasa seperti samudra yang membentang.
Haikal menatap lurus ke depan. Tangannya mencengkeram setir, seakan itu satu-satunya yang bisa ia kendalikan. Di bibirnya, kata-kata yang tak sempat diucapkan menumpuk: kecewa, marah, cinta yang tersakiti. Rike bergerak perlahan, bibirnya mencoba membentuk "maaf," tapi kata itu tercekat, samar, nyaris tak terdengar.
Keheningan menebal, pekat, menelan semua yang ingin diucapkan. Hanya suara mesin, gesekan ban di aspal, dan sesekali klakson yang menembus kabin. Tak ada senyum, tak ada sentuhan. Hanya jarak yang terasa semakin nyata, meski mereka duduk begitu dekat.
Dan di situ mereka tetap diam. Dua hati yang sama-sama ingin mengerti, tapi tak berani bersuara. Dua jiwa yang sama-sama retak, tapi hanya bisa menahan, menunggu, menimbang.
Kehidupan terus berjalan, tanpa janji, tanpa kepastian. Tapi hati manusia kadang memang harus terdiam sejenak---untuk merenung, untuk belajar, dan untuk bersiap menghadapi hari yang belum tahu apakah akan membawa penyembuhan... atau hanya meninggalkan luka yang hening.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI