Haikal terkekeh, lalu melihat jam tangannya. Wajahnya berubah tegang. "Waduh, baru tiga orderan kelar. Frans, Nurul, kalian lanjut ya. Aku harus ke Cengkareng, jemput Rike. Pesawatnya udah landing."
Frans mengacungkan jempol. "Siap, Bang. Kita handle."
Pamela menyeringai. "Titip salam buat Rike, Bang. Bilangin, dia punya suami barista paling kece se-Benhil."
Haikal tersenyum singkat, cepat-cepat melepas apron. "Yaelah, Pam, lu ada-ada aja. Oke, gue cabut dulu. Jangan bikin heboh kafe ini, ya!"
Pamela berseru lantang, "Tenang aja, Bang! Tanpa gue, kafe ini kayak kopi tanpa gula---sepi rasa!"
Tawa pecah memenuhi ruangan, mengiringi langkah cepat Haikal yang sudah menuju pintu keluar. Aroma kopi masih tertinggal di udara, tapi di kepalanya, pikiran sudah penuh dengan jalanan Jakarta dan bayangan wajah Rike yang akan segera ia temui.
Jakarta yang tak pernah gak macet
Haikal menyalakan mesin mobilnya, keluar dari area Benhil dengan tergesa. Klakson bersahutan, jalanan mulai padat oleh mobil pribadi, metromini, bajaj, hingga motor yang seliweran dari segala arah. Jakarta memang selalu begini, apalagi jam sibuk.
"Ya Allah, baru jam sembilan aja udah kayak semut tumpah," gumamnya sambil membelokkan setir ke arah Slipi.
Di dashboard, notifikasi WhatsApp berbunyi. Nama Rike muncul.
"Sayang, udah di mana? Aku udah sampai Cengkareng. Jangan lama ya, kangen banget."
Haikal buru-buru menekan voice note sambil tetap fokus di jalan.
"Ini baru keluar Benhil, Sayang. Jakarta macet banget, semua orang ngebut. Sabar ya, bentar lagi aku masuk tol."