Suasana kafe pagi itu memang sedang riuh. Dari jendela kaca besar, terlihat jalan Bendungan Hilir yang mulai ramai: pegawai kantoran berjas tergesa-gesa, ojek online berhenti menunggu orderan, dan suara klakson sesekali menyelinap. Aroma kopi yang kuat dari mesin espresso bercampur dengan harum croissant dari oven kecil di sudut.
Haikal menambahkan susu yang sudah dia steam dengan steam wand, menghasilkan buih halus berkilau. Dengan cekatan, ia menuang susu itu ke cangkir espresso, membuat latte art berbentuk hati.
"Ini dia, pesanan spesial Pamela: Benhil Signature Latte dengan cinta dalam setiap buihnya." Haikal mendorong cangkir ke meja bar.
Pamela menatap cangkir itu, lalu pura-pura menatap Haikal dengan gaya lebay. "Hati? Ya ampun, Bang. Jangan kasih hati ke gue, ntar gue minta jantung sekalian."
Frans ngakak, hampir menjatuhkan sendok. "Waduh, Mbak, bahaya. Bang Haikal udah ada mbak Rike, loh. Nanti istrinya cemburu."
Pamela pura-pura manyun, menyeruput kopinya. "Hmm... enak banget! Pahit, manis, creamy, semua jadi satu. Kayak hidup gue, penuh drama tapi tetep nikmat."
Nurul mengangkat alis. "Mbak Pamela emang suka lebay."
"Lebay tapi laku, Sayang!" jawab Pamela sambil mengibaskan tangan bak selebriti.
Haikal terkekeh, lalu melihat jam tangannya. Wajahnya berubah tegang. "Waduh, baru tiga orderan kelar. Frans, Nurul, kalian lanjut ya. Aku harus ke Cengkareng, jemput Rike. Pesawatnya udah landing."
Frans mengacungkan jempol. "Siap, Bang. Kita handle."
Pamela menyeringai. "Titip salam buat Rike, Bang. Bilangin, dia punya suami barista paling kece se-Benhil."