Sebelum sempat bertanya, ponselnya berdering. "Koh Miming," Haikal membaca nama di layar. Ia mengalihkan perhatian sementara, menjawab panggilan. Suara Koh Miming terdengar antusias:
"Haikal, saya bisa kirimkan 50 kg kopi Ciwidey yang baru diproses! Rasanya hampir mirip kopi yang kita impikan, dengan aroma kaya dan tekstur lembut. Formula up to date, secret recipe. Ini bakal jadi menu spesial kafe kamu!"
Haikal mengangguk sambil membuka bagasi mobil dan memasukkan tas serta troli Rike. Ia tersenyum tipis mendengar semangat Koh Miming, tapi matanya tak lepas dari Rike yang mengikuti dari belakang, masih diam.
Panggilan selesai, Haikal menutup bagasi. Saat ia menyalakan mobil, perlahan menoleh ke istrinya. Rike membuka maskernya.
Dan di detik itu... ia terkejut luar biasa.
Hidungnya... hasil oplas. Bentuknya lebih mancung, lebih rapi, sempurna secara simetris. Haikal menahan napas, jantungnya seakan berhenti. Semua adrenalin pagi ini meledak bersamaan: terkejut, marah, kecewa, sedih.
"Rike... kenapa? Untuk apa? Kenapa nggak bilang ke aku?" suaranya bergetar, mata berkaca-kaca.
Rike hanya menunduk, napasnya tertahan.
"Maaf, Haikal... aku salah... ini semua karena aku ingin tetap cantik di mata kamu... bukan untuk orang lain."
Haikal menggenggam setir, mencoba menahan emosi yang bergolak. Suara klakson nyaring bersahutan dari belakang karena mobilnya menghalangi jalan. Ia menarik napas panjang, menoleh, lalu memutar mobil sedikit demi sedikit sambil tetap menatap Rike.
"Rike, kenapa kamu bohonng???...., izinnya wisata ke Korea, ko malah seperti ini ?"
"Kamu pasti sadar melakukan semua ini kan ?, Rike... oplas dilarang agama! Kamu tahu itu!" suaranya pecah, tapi tetap berusaha menahan diri.
"Ya Allah... aku merasa gagal... belum mampu menjaga iman istriku, belum jadi suami yang baik..."
"Rike... apa gunanya hijab itu kalau maknanya tak pernah kau resapi?" Haikal menghela napas panjang, kepalanya digelengkan lemah berkali-kali, tangan kirinya menekan dahi seakan menahan pecahnya batin.