Mobil terus melaju memasuki Tol Dalam Kota. Dari jendela, gedung-gedung tinggi Jakarta berganti dengan papan iklan raksasa, suara knalpot motor dari sisi bahu jalan, dan deretan truk kontainer yang bergerak lamban.
Haikal menekan gas lebih dalam, menyalip bus Damri yang penuh penumpang. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Pikirannya bercampur antara was-was di jalan, rasa bersalah ke Rike, dan urusan kafe yang ia tinggalkan.
Di kejauhan, papan petunjuk besar hijau bertuliskan "Bandara Soekarno-Hatta" terlihat. Haikal menghela napas lega. "Sabar, Rike. Tunggu sebentar lagi, aku datang."
Arrival Gate Terminal 3
Begitu melewati gerbang tol bandara, Haikal menurunkan kecepatan mobilnya. Deretan taksi biru, mobil travel, dan bus pariwisata bergerak perlahan, masing-masing berusaha mencari jalur masuk terminal. Ia melirik jam di dashboard---sudah lebih dari satu jam sejak Rike mengabari bahwa pesawatnya mendarat.
"Harusnya udah muncul tuh dia di pintu kedatangan," gumam Haikal, suara serak oleh cemas, sambil memutar setir ke arah Terminal 3.
Minggu ini memang sibuk, pikirnya, tapi pikirannya kini hanya tertuju pada satu hal: Rike. Beberapa kali ponselnya bergetar oleh pesan pelanggan yang ingin pesanan dibuat langsung olehnya. Ada yang bahkan rela menunggu di kafe saat itu juga, tapi Haikal sama sekali tak peduli. Baginya, semua pekerjaan harus diselesaikan satu per satu hingga tuntas dengan tepat.
Di pelataran bandara, dunia tampak hidup dan bising: penumpang baru turun, mendorong troli penuh koper; petugas meniup peluit, menertibkan parkir; keluarga menunggu dengan wajah penuh rindu. Suara roda troli beradu dengan lantai licin, orang-orang memanggil nama-nama yang mereka tunggu, bercampur dengan pengumuman dari pengeras suara.
Ponselnya bergetar. Pesan dari Rike muncul:
"Aku ke toilet dulu ya, sebentar."
Haikal menarik napas lega, tapi kegelisahannya belum reda. "Oke, sebentar berarti bentar lagi keluar," gumamnya sambil menyalakan hazard, mobil berhenti di depan pintu kedatangan.