Haikal menutup mata sejenak, menahan rasa kesal yang nyaris berubah menjadi panik. "Astaga, Rike... kamu kenapa sih? Biasanya nggak sabar pengen ketemu. Sekarang malah bikin aku muter-muter."
Ia kembali ke parkiran, langkahnya berat, hampir terseret oleh kekhawatiran yang semakin menumpuk. Bayangan wajah ceria Rike yang selalu tersenyum kini kontras dengan sikapnya sekarang---misterius, seakan menyembunyikan sesuatu.
Haikal membuka pintu mobil, menyalakan AC, dan menekan voice note:
"Sayang, aku udah di parkiran. Tolong buruan ya, aku masih harus balik ke kafe. Pelanggan pada nanyain kapan aku turun tangan langsung racik kopi. Jangan lama, plis."
Ia duduk menunggu, jantung berdebar, mata tak lepas dari pintu masuk parkiran. Waktu melambat, detik-detik terasa panjang, seakan setiap napas menegangkan.
"Ya Allah," bisiknya lirih, nyaris terdengar hanya oleh dirinya sendiri. "Kenapa perasaan ini nggak enak banget?"
Pertemuan yang Aneh
Haikal menoleh ke arah pintu terminal, matanya tajam menembus kerumunan. Di antara wajah-wajah asing dan senyum lebar para penjemput, tiba-tiba ia melihat sosok yang familiar---Rike. Tapi ada yang berbeda. Wajahnya tertutup masker medis, langkahnya lamban, dan tas serta troli penuh di depannya.
Haikal langsung berlari. Setiap langkah terasa seperti detik yang menegangkan. Napasnya memburu, jantung berdebar kencang, adrenalinnya terpacu. Ia sampai di dekat Rike, mengambil alih troli dari tangannya, dan cepat-cepat mencium dahinya. Aroma parfum kesukaannya masih ada, tapi tetap saja ada perasaan aneh yang menyergap.
"Tumben, pakai masker?" Haikal menoleh sambil mengangkat alis, mencoba menahan rasa penasaran dan khawatir.
Rike hanya tersenyum tipis, tanpa banyak bicara, matanya menatap lurus ke depan. Haikal memperhatikan lebih seksama, dan kaget. Ada sedikit memar kebiruan di antara mata Rike. Hatinya seketika mencelat; rasa cemas dan marah bercampur.