Tak lama, balasan masuk:
"Aku ke parkiran aja ya, Sayang. Kamu tunggu di sana."
Haikal mengerutkan dahi. Biasanya, Rike melompat kecil dari jauh, melambai, lalu menceritakan segalanya tanpa henti. Kali ini berbeda. Ada jeda, ada misteri. "Kenapa dia malah lama-lamain? Tumben..."
Ia memutar setir, mencari parkiran sedekat mungkin ke pintu terminal. Setelah mendapat tempat, ia keluar dan berjalan cepat ke arah terminal sambil terus melirik ponsel, sesekali menekan tombol panggilan lagi---tetap tak diangkat. Jantungnya berdegup lebih kencang, adrenalin merayap.
"Ya Allah, ada apa sih sebenarnya? Kok beda banget," bisiknya, suara nyaris tenggelam di antara keramaian.
Dari kaca besar terminal, ia melihat kerumunan orang menjemput. Ada yang membawa bunga, ada yang melambaikan papan bertuliskan nama. Haikal berdiri di tengah mereka, memindai wajah demi wajah---tetap tidak ada Rike.
Ponselnya bergetar lagi. Voice note dari Rike:
"Aku jalan ke parkiran, Sayang. Tunggu di mobil aja ya, aku bawa troli penuh, agak susah kalau nyari kamu di dalam."
Haikal menutup mata sejenak, menahan rasa kesal yang nyaris berubah menjadi panik. "Astaga, Rike... kamu kenapa sih? Biasanya nggak sabar pengen ketemu. Sekarang malah bikin aku muter-muter."
Ia kembali ke parkiran, langkahnya berat, hampir terseret oleh kekhawatiran yang semakin menumpuk. Bayangan wajah ceria Rike yang selalu tersenyum kini kontras dengan sikapnya sekarang---misterius, seakan menyembunyikan sesuatu.
Haikal membuka pintu mobil, menyalakan AC, dan menekan voice note: