Mohon tunggu...
Rionanda Dhamma Putra
Rionanda Dhamma Putra Mohon Tunggu... Penulis - Ingin tahu banyak hal.

Seorang pembelajar yang ingin tahu Website: https://rdp168.video.blog/ Qureta: https://www.qureta.com/profile/RDP Instagram: @rionandadhamma

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemilu 2019, Kapitalis Vs Sosialis

2 Desember 2018   06:09 Diperbarui: 2 Desember 2018   06:29 919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : kompas.com

Pemilu 2019 adalah pesta demokrasi yang paling penting dalam sejarah bangsa ini. Mengapa? Pada tahun 2020-2030, kita akan menghadapi Bonus Demografi, di mana terjadi ledakan jumlah penduduk produktif . Tetapi, bonus ini akan menjadi bencana demografi, jika institusi pemerintahan tidak mampu memobilisasi potensi penduduk usia produktif dengan benar.

Maka dari itu, Pemilu 2019 yang akan diadakan pada 17 April 2019 untuk memilih legislator dan eksekutor adalah sebuah momen penentuan. Apakah kita akan menjadi negara maju pada tahun 2045? Bagaimana tingkat pembangunan nasional pada saat NKRI berumur satu abad? Kedua pertanyaan inilah yang akan terjawab dari hasil Pemilu 2019.

Indonesia adalah sebuah negara yang menganut sistem demokrasi presidensial. Sehingga, setiap kubu/faksi yang bertempur dalam pemilu pasti direpresentasikan oleh calon presiden yang mereka usung. Oleh sebab itu, hasil Pilpres 2019 menjadi indikator utama yang dinanti-nanti oleh masyarakat.

Siapa saja kubu-kubu tersebut? Sama seperti Pemilu 2014, terdapat dua kubu besar yang bertarung. Kubu oposisi (opposition) direpresentasikan oleh calon presiden (capres) Prabowo Subianto (Prabowo). Sementara, kubu petahana (government) direpresentasikan oleh capres petahana, Joko Widodo yang sedang memperjuangkan mandat untuk memerintah pada periode kedua.

"Loh, apa bedanya antara kedua kubu ini? Bukannya keduanya sama-sama berdiri untuk Pancasila sebagai ideologi negara?" Benar, keduanya sama-sama ingin mempertahankan dan memenuhi tujuan Pancasila sebagai dasar negara. Tetapi, posisi kedua kubu berbeda secara spektrum politik dalam cara untuk memenuhi tujuan tersebut.

Sebelum itu, mari kita pahami dua konsep ini; tujuan Pancasila dan spektrum politik. Mari kita mulai dari tujuan Pancasila.

Para pendiri bangsa kita (The Founding Fathers) mendirikan rumah Pancasila sebagai rumah kebangsaan Indonesia dengan tujuan sebagai berikut, sebagaimana dikemukakan pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945:

Melindungi segenap bangsa Indonesia

Melindungi seluruh tumpah darah Indonesia

Memajukan kesejahteraan umum

Mencerdaskan kehidupan bangsa

Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Dictionary.com (2018) menyatakan bahwa spektrum politik adalah sebuah model yang menggambarkan ideologi dan kepercayaan politik secara kontinu, dari sayap paling kiri hingga sayap paling kanan. Terminologi kiri-kanan ini muncul dari French National Assembly pada Revolusi 1789, di mana kaum revolusioner duduk di sisi kiri, dan kaum aristokrat di sisi kanan.

Lalu, bagaimana pijakan ideologis dari terminologi kiri-kanan? Pada era post-modern ini, kekirian (atau kekananan politik) seseorang ditentukan oleh pendirian subjek terhadap berbagai isu sosial dan ekonomi. Semakin reaksioner dan konservatif pendirian subjek terhadap isu-isu sosial, semakin "kanan" ideologinya. Semakin pro-pasar/laissez-faire dan neoliberal pendirian subjek terhadap isu-isu ekonomi, semakin "kanan" pula ideologinya.

Politicalcompass.org (2018) menggambarkan pijakan ideologis ini melalui sebuah model diagram Kartesius sebagai berikut:

Berdasarkan model di atas, kita dapat menganalisis posisi ideologi kedua kubu yang bertarung pada Pemilu 2019 ini. Posisi ini menentukan cara kubu tersebut dalam memenuhi tujuan Pancasila sebagai ideologi negara. Mari kita mulai dari kubu oposisi, alias Koalisi Indonesia Adil Makmur, yang dipimpin oleh Bapak Prabowo.

Secara sosial, kubu Prabowo memiliki pendirian yang reaksioner dan konservatif. Lihat saja partai-partai besar yang tergabung dalam koalisi ini; Gerindra, PKS, Demokrat, dan PAN. Mereka semua memosisikan ideologi partainya sebagai nasionalis-religius. Sehingga, partai-partai ini selalu berusaha mempertahankan (dan mengembalikan) status quo di masyarakat.

Namun, secara ekonomi, kubu Prabowo memiliki pendirian yang anti-pasar dan anti-neoliberalisme. Kubu ini menawarkan fusi sosialisme dan nasionalisme ekonomi kepada para elektorat. 

Mulai dari janji untuk menyetop impor komoditas primer (CNNindonesia.com, 2018), sampai dengan visi misi Bapak Prabowo untuk menyingkirkan segala bentuk neoliberalisme jika menjadi calon presiden (Kusuma dalam finance.detik.com, 2018).

Tetapi, ada satu pernyataan yang menggambarkan posisi-posisi di atas dengan sangat jelas. Apakah pernyataan itu? Pernyataan Beliau tentang ojek online (ojol). Secara sosial, ini menunjukkan bahwa kubu oposisi ingin mengembalikan stigma lama yang sudah terinternalisasi di masyarakat tentang profesi yang harus ditekuni generasi muda setelah menamatkan pendidikan.

Secara ekonomi, ini menunjukkan resistensi kubu oposisi terhadap disrupsi yang terjadi dalam dunia kerja, yaitu munculnya gig economy. Wigmore (dalam Techtarget.com, 2018) menyatakan bahwa gig economy adalah sistem pasar bebas di mana pekerjaan menjadi temporer dalam kerangka kontrak-kontrak jangka pendek yang dilaksanakan oleh pekerja sebagai freelancer.

Ojol adalah salah satu sektor dalam gig economy. Orang-orang yang menjadi driver ojol adalah freelancer yang lebih fleksibel dalam menentukan kapan dan di mana ia bekerja. Tetapi, bagi koalisi ini, mereka tetaplah tukang ojek. Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada seluruh ojol dan opang di seluruh Indonesia, profesi ini dipandang rendah oleh masyarakat.

Sehingga, dapat dikatakan bahwa Koalisi Indonesia Adil Makmur, yang direpresentasikan oleh Bapak Prabowo, adalah kubu sosialis kanan dalam konstelasi politik Pemilu 2019. "Kiri" alias sosio-nasionalistik dalam isu ekonomi, namun "kanan" alias konservatif reaksioner dalam isu sosial.

Sekarang, mari kita beralih kepada kubu petahana, yaitu Koalisi Indonesia Kerja. Koalisi ini direpresentasikan oleh capres petahana, Bapak Jokowi. Dalam koalisi ini, tergabung partai-partai seperti PDIP, PKB, Gokkar, Perindo, NasDem, Hanura, PKPI, PSI, dan PPP. Secara ideologis, terdapat partai religius dan nasionalis dalam koalisi ini.

Secara sosial, koalisi ini lebih liberal dan moderat. Memang, koalisi ini tidak pernah mengangkat isu legalisasi LGBT, legalisasi marijuana, atau penghapusan Tap MPRS No. 25 tahun 1966 tentang pelarangan Partai Komunis Indonesia. Tetapi, koalisi ini tidak pernah menggunakan agama sebagai alat politik.

Hal ini tercermin dari pernyataan Bapak Jokowi menjelang Pilkada serentak 2017. "Dipisah betul, sehingga rakyat tahu mana yang agama, mana yang politik," tegas Beliau (nasional.kompas.com, 2017). Hal ini menjadi garis pemisah Koalisi Indonesia Kerja (KIK) dan Koalisi Indonesia Adil Makmur (KIAM). KIK ingin memisahkan agama dari politik, sementara KIAM ingin melakukan fusi agama dan politik.

Secara ekonomi, kubu Jokowi justru lebih pro-pasar dan neoliberal dibandingkan kubu Prabowo yang sosio-nasionalistik. Bagi penulis, Jokowi menawarkan fusi neoliberalisme moderat dengan pembangunan infrastruktur skala besar kepada elektorat. 

Memang, fusi ini tidak terlihat dari 9 program ekonomi Jokowi-Ma'ruf. Namun, fusi ini jelas terlihat dalam kebijakan ekonomi yang digelontorkan pemerintah akhir-akhir ini.

Contoh yang paling eksplisit adalah Paket Kebijakan Ekonomi jilid XVI yang diluncurkan oleh Menko Perekonomian, Darmin Nasution pada 16 November 2018. Pokok dari paket kebijakan tersebut adalah sebagai berikut (Anastasia dalam tribunnews.com, 2018):

Memperluas pengurangan PPh Badan (Tax Holiday)

Merelaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI) pada berbagai sektor unggulan

Memperkuat pengendalian devisa dengan insentif perpajakan.

Tiga pokok ini adalah sebuah upaya deregulasi, debirokratisasi, dan rasionalisasi ekonomi yang selalu didukung secara terang-terangan oleh ekonom neoliberal di seluruh dunia. Selain itu, pemerintahan Jokowi juga melakukan pembangunan infrastruktur transportasi (jalan dan jembatan) skala besar dari awal masa pemerintahannya.

Sejak 2014, pemerintahan Jokowi sudah membangun 423,17 kilometer jalan tol (Simorangkir dalam finance.detik.com, 2018) dan 12.783 kilometer jalan (Kusuma dalam finance.detik.com, 2018). Pembangunan tersebut banyak melibatkan sektor swasta melalui public private partnership (PPP). Namun, pemerintah tetap menjadi ujung tombak dalam pembangunan ini, karena jalan adalah infrastruktur publik (public goods).

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Koalisi Indonesa Kerja termasuk ke dalam kubu kapitalis kiri dalam konstelasi politik Pemilu 2019. "Kanan" alias neoliberal moderat dalam isu ekonomi, namun "kiri" alias liberal moderat dalam isu-isu sosial.

Sehingga, konstelasi politik dalam Pemilu 2019 adalah sebuah anomali. Ini mendobrak konsepsi konstelasi ideologi politik ala Barat, bahwa kubu kapitalis berada di sayap kanan dan kubu sosialis berada di sayap kiri. Justru, kekuatan pro-pasar berada di sisi kiri spektrum, dan kekuatan sosialis berada di sisi kanan spektrum.

Maka, inilah gambaran umum yang dapat penulis berikan tentang konstelasi ideologi politik Pemilu 2019. Pilihan politik berada di tangan masing-masing pembaca.

Berbeda pilihan politik itu biasa. Yang penting, kita sama-sama berangkat ke TPS untuk mencoblos caleg dan capres pilihan kita pada 17 April 2019. Selamat berdemokrasi!

 

SUMBER

https://www.politicalcompass.org/analysis2?ec=8.25&soc=3.13. Diakses pada 30 November 2018.
https://www.idntimes.com/news/indonesia/irfanfathurohman/ini-daftar-nama-di-koalisi-indonesia-adil-makmur/full/. Diakses pada 30 November 2018.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181105100501-32-343997/timses-prabowo-jelaskan-soal-janji-setop-impor. Diakses pada 30 November 2018.
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4154046/prabowo-mau-singkirkan-ekonomi-neolib-apa-sih-neolib-itu. Diakses pada 30 November 2018.
https://mojok.co/apk/ulasan/pojokan/prabowo-sedih-anak-muda-jadi-driver-ojol/. Diakses pada 30 November 2018.
https://www.alinea.id/nasional/disinggung-prabowo-go-jek-tukang-ojek-banyak-yang-nyicil-rumah-b1UAf9f2T. Diakses pada 30 November 2018.
https://whatis.techtarget.com/definition/gig-economy. Diakses pada 30 November 2018.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180809163733-32-320924/partai-pendukung-jokowi-deklarasikan-koalisi-indonesia-kerja. Diakses pada 1 Desember 2018.
https://nasional.kompas.com/read/2017/03/24/19084521/presiden.jokowi.pisahkan.agama.dan.politik. Diakses pada 1 Desember 2018.
https://www.cnbcindonesia.com/news/20180925100611-4-34580/ini-daftar-lengkap-program-ekonomi-jokowi-maruf-2019-2024. Diakses pada 1 Desember 2018.
http://www.tribunnews.com/bisnis/2018/11/16/paket-kebijakan-ekonomi-jilid-xvi-yang-dimumkan-hari-ini-berlaku-mulai-pekan-depan. Diakses pada 1 Desember 2018.
https://finance.detik.com/infrastruktur/d-4265379/4-tahun-jokowi-jk-panjang-jalan-tol-bertambah-42317-km. Diakses pada 1 Desember 2018.
https://finance.detik.com/infrastruktur/d-4169587/jokowi-12783-km-jalan-dibangun-sejak-2015. Diakses pada 1 Desember 2018.

Disclaimer: Tulisan ini sudah diterbitkan pada laman Qureta penulis

Link: 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun