"Argh!" Gio memukul meja di depannya dengan kepalan tangan kirinya. Laptop dan dua cangkir kopi hitam panas bergetar. Begitu juga Rizi, sahabat dekat Gio yang tersontak kaget padahal sedang asyik bermain game.
"Ah elah, kenapa sih? Bikin jantungan aja!"
"Kamu yakin Dinar suka sama suami orang?" tanya Gio ketus, dahinya berkerut seperti saat ia sedang mengerjakan soal kalkulus di ruang ujian minggu lalu.
Rizi menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya, "Iya, dia yang pernah bilang ke aku dan Eca. Tanya aja ke Eca kalau nggak berani tanya langsung ke Dinar."
Gio terdiam. Itu bukan solusi yang tepat. Ia sudah tahu mulut Eca separah apa kebocorannya dalam menjaga rahasia. Daripada ia ketahuan mencari tahu lewat Eca, lebih baik dia sendiri yang tanya langsung ke Dinar.
Jam di pergelangan tangan Gio terus berdetak. Pukul sebelas lewat sebelas menit. Gio dan Rizi masih duduk dengan urusan masing-masing di sebuah kafe. Selain buka selama 24 jam, nama kafe itu juga memang "24 Jam".Â
Semakin malam bukannya semakin sepi, justru kian ramai didatangi para mahasiswa karena lokasi kafe yang strategis dengan kampus, harga terjangkau, dan jaringan wifi yang lancar.Â
Ada yang segolongan dengan Rizi, menumpang wifi sambil menyeruput kopi hitam dan mengunyah pisang goreng, kegiatan utamanya adalah bermain mobile legend. Ada pula yang segolongan dengan Gio. Lelaki gondrong, khas mahasiswa teknik, membawa ransel besar, ada tumpukan laporan praktikum dan tidak kunjung selesai revisinya, serta laptop gaming dengan keyboard menyala merah, hijau, hingga kuning.
Gio tak menyentuh laptopnya sejak Rizi datang dua jam yang lalu sambil membawa berita gempar bagi dirinya. Kabar bahwa cinta pertama Dinar, yang selama ini membuat perempuan itu gagal move on adalah suami orang, alias laki-laki yang sudah beristri. Mungkin jika Dinar bukan sahabatnya sejak awal menjadi mahasiswa baru dahulu, ia takkan segempar itu menanggapi perkara itu.Â
Terlebih lagi, jika Dinar bukan cinta pertama bagi Gio, ia takkan segelisah itu sampai kopi hitamnya hanya diaduk aduk menggunakan sendok kecil. Ampasnya tak kunjung mengendap sebab selalu ikut berputar seiring sendok yang dipakai Gio untuk mengaduk.
"Cinta pertama itu harus diperjuangkan, bro!" celutuk Rizi, lagi-lagi tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya. Ia hanya membenarkan posisi duduk, sambil menaruh puntung rokok di asbak.
"Kau tahu apa sih? Kerjaannya mempermainkan perempuan seperti game-game yang berkarat di ponselmu itu!"
"Daripada kau yang sibuk belajar, ikut lomba sana-sini, pengabdian sana-sini, sampai lupa kalau kau punya kodrat untuk jatuh cinta! Giliran udah ada cintanya, eh kagak berani bilang."
"Gimana aku mau berani bilang kalau aku tahu si Dinar itu belum move on. Sekarang ditambah pula gosip kalau dia suka sama suami orang. Makin pusing kepalaku ini."
"Sejak kapan kau pusing karena perempuan? Sejak kau kenal Dinar kan? Hahaha."
Gio tak menimpali lagi. Dia hanya mendengus kesal.
"Btw, itu bukan gosip ya, aku bilang sekali lagi nih. Pokoknya kalau itu terbukti benar, kau harus bayar aku ceban."
Gio hanya melirik sekilas. Tidak memperdulikan ucapan Rizi. Ia kembali berusaha memusatkan konsentrasinya ke laptop, melihat laporan praktikum yang menumpuk dan harus ia koreksi. D semester akhir ini, ia bukan lagi mengerjakan laporan, tapi mengoreksi laporan. Di sela-sela penelitian tugas akhirnya, ia sempatkan untuk menjadi asisten praktikum untuk mengisi waktu yang sebenarnya sudah penuh itu. Ia jejali saja. Dan kali ini, tak bisa dipungkiri bahwa sekian persen waktu yang harusnya ia fokuskan pada hal-hal perkuliahan, justru terisi oleh perempuan idamannya dan cinta pertamanya.
**
Esoknya, Gio bertemu Dinar di eskalator kampus, dari lantai 2 ke lantai 3. Perempuan itu sedang membawa tumpukan buku dari perpustakaan yang terlihat berat untuk perempuan sekurus dia.
"Din!" panggil Gio dari belakang punggung Dinar. Jarak mereka terpaut lima anak tangga.
Yang dipanggil menoleh, tersenyum. Tangannya penuh buku sehingga tak bisa melambaikan tangan seperti yang biasa ia lakukan. Kemeja kuning pastel dan rok kain linen berwarna putih tulang menyatu dengan kulit putihnya. Rambutnya hanya dicepol menggunakan jedai. Bahkan sepertinya belum kering sempurna setelah dikeramas. Gio sudah hafal jika penampilan rambutnya seperti itu, maka Dinar habis begadang dan sedang banyak sekali yang dia kerjakan.
"Bawa buku banyak amat," tegur Gio setelah mereka sampai di lantai 3. Tangan kekarnya gesit mengambil buku dari tangan mungil Dinar.
"Bagi dua aja sini," kata Dinar meminta buku-buku itu kembali separuhnya ke tangan dia.
"Nggak usah."
Dinar hanya mengerucutkan bibir.
Sesampainya di kelas, Gio segera duduk di belakang Dinar yang sudah langsung asyik mengobrol dengan Eca. Saking serunya mengobrol, Dinar tak sengaja menyenggol botol minum yang belum ia tutup sempurna di mejanya. Tumpah, membasahi meja, tapi tak smpai ke lantai. Ia bergegas membuka pouch mencari sesuatu. Eca segera memberikan tisu.
"Pakai tisu aja, nih."
"Thank you. Tapi di mana ya sapu tanganku?"
"Sapu tangan yang merah muda itu?"
"Iya."
"Yang dari cinta pertamamu?"
Gio sontak melotot, mempertajam pendengaran sambil meraba sakunya, mencari sapu tangan miliknya. Ia berniat memberikannya pada Dinar tapi urung, karena fokusnya pada pertanyaan Eca yang mengarah pada cinta pertama. Lelaki beristri itu sampai memberi sapu tangan? Dan Dinar terlihat sangat panik saat sapu tangan itu hilang? Secinta itu kah? Seberarti itukah? Ribuan pertanyaan muncul di benak Gio sampai ia tersadar karena bahunya ditepuk oleh Dinar.
"Kamu lihat nggak? Sepanjang tadi kita dari eskalator mungkin?"
"Ah, eh, ehm, enggak, Din."
Dinar menghela napas.
"Mau pinjam punyaku dulu?" akhirnya Gio menyodorkan sapu tangannya.
Dinar tak menghiraukannya, justru ia berlari kecil ke luar kelas.
"Din, bentar lagi masuk! Cari abis selesai kelas aja!" teriak Eca. Sedangkan Gio masih mematung, agak sakit hati karena tawarannya tak dihiraukan.
Dinar yang sudah sampai pintu kelas, berhenti sejenak, melihat jam, dan berpikir beberapa detik. Lalu bergegas kembali ke kursinya. Ia justru melihat Gio mengelap mejanya pakai sapu tangan milik Gio.
"Eh, makasih. Aduh, maaf ya, aku panik banget soalnya," ujar Dinar sambil menatap Gio.
"Move on atuh, Din. Sapu tangannya udah ilang berarti memorinya juga buang sekalian," celutuk Eca.
Dinar terdiam. Ia terlihat sedih. Gio semakin penasaran dengan sosok cinta pertama Dinar itu kenapa sampai membuat perempuan itu sekecewa itu.
**
"Belum ketemu sapu tangannya?"
"Belum, nanti aku cari di rumah, barangkali ketinggalan," jawab Dinar sambil menendang-nendang daun kering di halaman kampus yang belum disapu oleh petugas. Tanah masih basah sehabis hujan tadi pagi.
"Aku jadi makin sedih liat daun-daun ini."
"Eh, kenapa?"
"Ngingetin aku sama cinta pertamaku."
Deg. Dada Gio seperti tertohok. Dinar membuka obrolan tentang cinta pertamanya. Saat mereka berjalan berdua menuju parkiran.
"Apa memangnya?"
"Rahasia."
"Tapi, maaf ya kalau aku lancang, kamu emang secinta itu sama dia?"
"Tentu saja."
"Tetapi dia bukannya sudah punya istri?" celutuk Gio keceplosan.
Dinar menoleh kaget dan sempat memberhentikan langkah beberapa detik. Tetapi lanjut berjalan lagi sambil tertawa.
"Tahu dari Eca?"
"Bukan, dari Rizi."
"Oh iya. Memang begitu sih."
"Mereka masih suami istri sah?"
"Hm, mau kukenalkan?"
"Aku? Ke siapa?"
"Ke cinta pertamaku itu."
Eh buset. Gio tidak dapat menyembunyikan ekspresi kagetnya.
 "Kamu jadi temanku yang pertama kukenalkan ke dia. Bahkan Eca pun belum pernah bertemu," kata Dinar sambil mengajak Gio bergegas.
**
Gio dan Dinar tiba di pemakaman umum. Gio dengan seribu pertanyaan di kepalanya, hanya mengikuti arah Dinar melangkah. Perasaannya mulai tidak enak. Apakah cinta pertama Dinar sudah meninggal?
"Assalamualaikum," Dinar mengucap salam sambil berjongkok di samping suatu makam, di bawah pohon bunga dahlia.
Deg. Gio langsung tidak bisa berkata-kata. Apalagi setelah ia membaca nama yang terpahat di keramik makam.
Erik Budiman.
Gio tahu betul, bahwa nama lengkap Dinar adalah Dinar Malik Budiman. Dinar tak pernah bercerita tentang bagaimana perasaannya selama ini ditinggal ayahnya. Gio terlalu takut untuk menanyakannya, karena takut Dinar menjadi sedih dan tidak ingin membahasnya.
"Aku ingin menjadi daun-daun kering ini, Gi."
"Kenapa?"
"Ia selalu ditakdirkan jatuh, ke tanah, ke makam ini. Meskipun ia juga bisa terbang terbawa angin, atau disapu orang dan dibuang, bahkan dibakar. Dia akan selalu tergantikan oleh daun yang baru, seperti terlahir kembali dari ranting dan pohon yang sama."
Gio terdiam.
"Aku juga ingin terus terlahir kembali untuk ditakdirkan berada di atas tanah basah ini. Berada di dekat Ayah."
Gio tak mampu berkata-kata, hanya hatinya yang tiba-tiba berbisik.
Aku mencintaimu, Dinar. Seperti perumpamaanmu tentang dedaunan kering dan tanah basah. Tidak peduli siapa yang akan menjadi tanah basah ataupun dedaunan kering, yang terpenting, aku ingin mencintai dan dicintai setulus itu. Aku ingin kita dekat, sedekat takdir dedaunan kering dan tanah yang dibasahi hujan bersama.
Selalu tak ada jawaban dari pikiran dan perkataan yang hanya terdengar di hati, kecuali suara gesekan ranting pohon di atas mereka, yang tertiup angin, menjatuhkan daun-daun kering lagi.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI