"Cinta pertama itu harus diperjuangkan, bro!" celutuk Rizi, lagi-lagi tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya. Ia hanya membenarkan posisi duduk, sambil menaruh puntung rokok di asbak.
"Kau tahu apa sih? Kerjaannya mempermainkan perempuan seperti game-game yang berkarat di ponselmu itu!"
"Daripada kau yang sibuk belajar, ikut lomba sana-sini, pengabdian sana-sini, sampai lupa kalau kau punya kodrat untuk jatuh cinta! Giliran udah ada cintanya, eh kagak berani bilang."
"Gimana aku mau berani bilang kalau aku tahu si Dinar itu belum move on. Sekarang ditambah pula gosip kalau dia suka sama suami orang. Makin pusing kepalaku ini."
"Sejak kapan kau pusing karena perempuan? Sejak kau kenal Dinar kan? Hahaha."
Gio tak menimpali lagi. Dia hanya mendengus kesal.
"Btw, itu bukan gosip ya, aku bilang sekali lagi nih. Pokoknya kalau itu terbukti benar, kau harus bayar aku ceban."
Gio hanya melirik sekilas. Tidak memperdulikan ucapan Rizi. Ia kembali berusaha memusatkan konsentrasinya ke laptop, melihat laporan praktikum yang menumpuk dan harus ia koreksi. D semester akhir ini, ia bukan lagi mengerjakan laporan, tapi mengoreksi laporan. Di sela-sela penelitian tugas akhirnya, ia sempatkan untuk menjadi asisten praktikum untuk mengisi waktu yang sebenarnya sudah penuh itu. Ia jejali saja. Dan kali ini, tak bisa dipungkiri bahwa sekian persen waktu yang harusnya ia fokuskan pada hal-hal perkuliahan, justru terisi oleh perempuan idamannya dan cinta pertamanya.
**
Esoknya, Gio bertemu Dinar di eskalator kampus, dari lantai 2 ke lantai 3. Perempuan itu sedang membawa tumpukan buku dari perpustakaan yang terlihat berat untuk perempuan sekurus dia.
"Din!" panggil Gio dari belakang punggung Dinar. Jarak mereka terpaut lima anak tangga.