Seri-1 Filsafat Logika
Episode 25-Filsafat Agama: Mampukah Akal Mendefinisikan Tuhan?
Bab I-Pendahuluan: Antara Iman, Nalar, dan Bahasa
"Bisakah Tuhan didefinisikan?"
Pertanyaan ini lebih dari sekadar diskusi akademik. Ia menyentuh jantung ketegangan antara iman dan akal, wahyu dan logika, mistisisme dan rasionalisme. Dalam filsafat, upaya memahami atau mendefinisikan Tuhan telah berlangsung lebih dari dua milenium, dan tetap menjadi medan perdebatan hangat.
Banyak filsuf menyadari bahwa ketika kita berbicara tentang Tuhan, kita berbicara tentang sesuatu yang tak terhingga menggunakan perangkat yang terbatas, yakni bahasa dan logika manusia. Ini menciptakan dilema klasik: Apakah logika mampu menangkap realitas Tuhan, ataukah ia justru reduktif dan membatasi
Di satu sisi, logika adalah alat berpikir tertinggi manusia. Ia membedakan argumen sahih dari yang keliru, dan menjadi dasar semua ilmu. Tapi di sisi lain, logika bersandar pada premis, definisi, dan kategori-yang semuanya bersifat finite.
Filsafat agama berusaha menavigasi ketegangan ini. Di satu ujung spektrum, ada filsuf rasionalis seperti Anselmus, Ibn Sina, dan Descartes yang mencoba menyusun argumen logis tentang Tuhan. Di ujung lain, ada mystic dan kritikus rasionalitas seperti Al-Ghazali, Kierkegaard, dan Wittgenstein yang menolak totalitas logika dalam memahami Yang Ilahi.
Di tengah perdebatan ini, kita bertanya: Apakah "logika" hanya alat manusia yang terbatas, ataukah ia bagian dari ciptaan Tuhan itu sendiri?
Tantangan-Tantangan Utama:
1. Bahasa sebagai penghalang:
Tuhan adalah entitas yang tak terbatas dan tak tersusun-sementara semua bahasa manusia membutuhkan struktur dan batas. Maka, definisi Tuhan dalam bahasa bisa dianggap kontradiktif atau reduktif.