Fleksibilitas ini mencerminkan sintesis antara teori Keynesian (intervensi negara) dan neoliberal (efisiensi pasar)--sebuah pendekatan yang kini diadopsi dalam model ekonomi heterodoks (Rodrik, 2008).
Sumitronomics sebagai Epistemologi Alternatif Pembangunan
Dalam konteks ekonomi global yang terfragmentasi, pemikiran Sumitro menawarkan solusi untuk tiga masalah utama:
1. Ketimpangan struktural: Proteksi sektor strategis ala Gerakan Benteng dapat diadaptasi untuk industri hijau dan digital.
2. Deglobalisasi: Penguatan BUMN dan koperasi menjadi benteng ketahanan ekonomi nasional.
3. Pembangunan berkelanjutan: Integrasi kesejahteraan sosial dan pertumbuhan ekonomi sesuai semangat SDGs.
Jika kebanyakan teori pembangunan besar berasal dari universitas di Barat, Sumitronomics menawarkan epistemologi pembangunan yang lahir dari realitas pascakolonial.
Sumitro berbicara dari Indonesia, namun dengan kesadaran global. Pendekatannya bersifat contextualist, heterodox, dan policy-oriented, tiga karakter yang kini makin diapresiasi dalam literatur pembangunan kontemporer (Rodrik, 2008; Chang, 2010).
Dalam konteks ketegangan geoekonomi, deglobalisasi selektif, dan kembalinya proteksionisme hijau, Sumitronomics menjadi semakin relevan.
Isu seperti hilirisasi sumber daya alam, penguatan BUMN strategis, dan industrialisasi berbasis sumber daya lokal kini menjadi bagian dari diskursus kebijakan, seolah membangkitkan kembali semangat Sumitro dalam format baru.
Penutup
Sumitro bukan hanya arsitek ekonomi Orde Baru, melainkan intelektual pembangunan Global South yang melampaui zamannya.
Melalui Sumitronomics, kita tidak hanya belajar kebijakan, tapi juga etika pembangunan: bagaimana membangun tanpa kehilangan kedaulatan, tumbuh tanpa mengorbankan keadilan, dan berkuasa tanpa melupakan kawan seperjuangan.
Di tengah arus revisi besar teori pembangunan, Sumitro adalah suara yang perlu dibangkitkan kembali--bukan sebagai nostalgia, tapi sebagai inspirasi kontemporer.