Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Peneliti Senior Swarna Dwipa Institute (SDI)

Sosialisme Indonesia. Secangkir kopi. Buku. Puncak gunung. "Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik" [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Sumitronomics: Membongkar Gagasan Pembangunan dari Dunia Ketiga

23 Mei 2025   21:02 Diperbarui: 24 Mei 2025   11:44 2342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumitro memandang pembangunan ekonomi bukan semata-mata soal pertumbuhan, melainkan transformasi struktural dan keadilan sosial.

Di sinilah Sumitronomics bertemu dengan teori Human Development ala Amartya Sen (1999), yang menekankan pada capabilities dan kebebasan.

Dalam orasi dan kebijakannya, Sumitro kerap menyuarakan bahwa pembangunan harus menyentuh lapisan terbawah masyarakat melalui pendidikan, keterampilan, dan akses terhadap sumber daya produktif.

Kritik Sumitro terhadap ketergantungan pada modal asing dan impor teknologi sangat kuat, bahkan bisa dibaca sebagai proto-dependency theory, sebagaimana yang dikembangkan oleh Andre Gunder Frank (1967) atau Theotonio dos Santos.

Bedanya, Sumitro lebih pragmatis. Ia tidak menolak investasi asing, tetapi mendesak transfer teknologi, peningkatan kapasitas nasional, dan penguatan industri dalam negeri. Ia adalah seorang nasionalis ekonomi yang kosmopolitan.

Koperasi sebagai Soko Guru: Institusi Lokal dalam Arus Global

Berbeda dengan model kapitalisme Barat, Sumitro menempatkan koperasi sebagai tulang punggung ekonomi kerakyatan. 

Ia menolak individualisme pasar bebas dan mengadvokasi kolektivisme berbasis komunitas melalui:

  • Penyediaan kredit mikro untuk usaha kecil.
  • Penguatan rantai nilai lokal melalui integrasi koperasi dengan BUMN.
  • Pendidikan ekonomi berbasis kearifan lokal.

Konsep ini merefleksikan prinsip ekonomi institusional (North, 1990), di mana lembaga non-pasar berperan dalam mengurangi biaya transaksi dan ketimpangan. 

Dalam konteks kekinian, model ini relevan untuk menjawab tantangan ekonomi digital yang cenderung meminggirkan pelaku usaha mikro.

Sumitro dikenal sebagai ekonom yang menghindari doktrin kaku. Meski berhaluan sosialis, ia menerapkan kebijakan pro-pasar secara selektif, seperti: 

1. Undang-Undang Penanaman Modal Asing (1967) yang membuka ruang bagi investasi asing di sektor non-strategis.

2. Reformasi perbankan dengan mendirikan bank pemerintah untuk mendanai industrialisasi.

3. Penyesuaian anggaran dinamis yang memadukan APBN dengan pendanaan multilateral.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun