Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Peneliti Senior Swarna Dwipa Institute (SDI)

Sosialisme Indonesia. Secangkir kopi. Buku. Puncak gunung. "Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik" [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Sumitronomics: Membongkar Gagasan Pembangunan dari Dunia Ketiga

23 Mei 2025   21:02 Diperbarui: 24 Mei 2025   11:44 2342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Prabowo menaiki motor menuju makam ayahnya Soemitro Djojohadikusumo di TPU Karet Bivak, Jakarta, Kamis (15/2/2024). (FOTO: HARITSAH/Jawa Pos)

Pemikiran Sumitro Djojohadikusumo bin RM Margono Djojohadikusumo (29 Mei 1917-9 Maret 2001) tentang ekonomi pembangunan kembali relevan dalam konteks Indonesia modern.

Sumitro Djojohadikusumo adalah salah satu angkatan intelektual muda Indonesia yang gemilang di zamannya. 

Bayangkan, di usia 26 tahun, dia sudah menyandang gelar doktor ilmu ekonomi dari Nederlandse Economische Hogeschool dengan disertasinya "Kredit Rakyat (Jawa) di Masa Depresi".

Kemudian, tahun 1950 saat usianya genap 33 tahun, Pak Cik diangkat sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian dalam kabinet Natsir. Tahun 1952, Pak Mitro menjadi Menteri Keuangan Kabinet Wilopo.

Bukan hanya di level nasional, Sumitro pada 1953 (36 tahun) oleh Sekjen PBB diangkat sebagai anggota lima ahli dunia (group of five top experts). 

Nama Sumitro, bukan hanya lekat dengan sejarah ekonomi Indonesia, tetapi juga merepresentasikan suatu pendekatan khas terhadap pembangunan yang kini bisa dibaca ulang secara lebih segar dalam lanskap global pascakolonial dan krisis neoliberal. 

Sebagai arsitek kebijakan ekonomi era 1950-an hingga 1990-an, ayah dari Presiden Prabowo ini menawarkan kerangka pemikiran yang memadukan keindonesiaan, sosialisme, dan pragmatisme--sebuah triad yang kini dikenal sebagai Sumitronomics.

Artikel ini mengusulkan pembacaan ulang atas pemikiran Sumitro sebagai basis dari paradigma pembangunan alternatif yang berakar pada realitas Global South, jauh sebelum istilah itu menjadi arus utama dalam literatur ekonomi pembangunan.

Sumitronomics: Di Antara Etatisme dan Kapitalisme Progresif

Dalam artikel ini, Kompasianer akan menemukan istilah Global South (Selatan Global), Dunia Ketiga, dan istilah teknis lainnya.

Global South merupakan pengembangan dari istilah "Dunia Ketiga" yang digunakan untuk menggolongkan negara-negara yang tidak termasuk dalam blok Barat atau Timur saat Perang Dingin.

Istilah ini tidak hanya merujuk pada lokasi geografis, tetapi juga pada gerakan politik, ideologi, visi pembangunan, dan solidaritas antar negara.

Dalam konteks tersebut, Sumitro tidak bisa disederhanakan dalam dikotomi klasik antara komunis dan kapitalis, timur dan barat, kiri dan kanan, dan sebagainya. Ia mendukung intervensi negara namun tetap menghargai peran pasar.

Konsep yang ia tawarkan adalah ekonomi campuran pragmatis, di mana negara menjadi motor industrialisasi tanpa mengabaikan sektor swasta.

Dalam karya klasiknya The Problems and Policies of Economic Development (1957), ia menekankan pentingnya state-led industrialization, namun bukan dalam bentuk kontrol penuh negara seperti dalam model Soviet, melainkan sebagai fasilitator dan regulator.

Pendekatan ini beresonansi dengan teori Developmental State (Johnson, 1982; Woo-Cumings, 1999), yang menempatkan negara sebagai aktor utama pembangunan melalui kebijakan industrialisasi strategis.

Namun berbeda dari model Asia Timur yang sering dikutip, Sumitro sudah lebih dahulu mengartikulasikan pentingnya adaptasi lokal dan nasionalisme ekonomi sebagai tulang punggung kebijakan pembangunan.

Sosialisme Indonesia: Antitesis Ekonomi Kolonial

Sumitro menolak ekonomi kolonial yang bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam dan ketergantungan pada modal asing. Sebagai gantinya, ia mengusulkan ekonomi sosialis ala Indonesia dengan tiga pilar:

1. Peran aktif negara dalam perencanaan makroekonomi dan penguasaan sektor strategis (minyak, pertambangan).

2. Keseimbangan antara BUMN dan swasta nasional, dengan BUMN sebagai "lokomotif" pembangunan dan swasta sebagai mitra inovasi.

3. Proteksi terukur untuk pengusaha pribumi melalui kebijakan seperti Gerakan Benteng (1950), yang membatasi dominasi asing di sektor perdagangan.

Pendekatan ini selaras dengan teori strukturalis ekonomi pembangunan (Hirschman, 1958), yang menekankan transformasi struktur ekonomi dari agraris ke industri. 

Sumitro melihat industrialisasi sebagai jalan untuk memutus mata rantai ketergantungan--sebuah konsep yang kemudian dikembangkan oleh aliran dependency theory (Frank, 1967).

Sumitro memandang pembangunan ekonomi bukan semata-mata soal pertumbuhan, melainkan transformasi struktural dan keadilan sosial.

Di sinilah Sumitronomics bertemu dengan teori Human Development ala Amartya Sen (1999), yang menekankan pada capabilities dan kebebasan.

Dalam orasi dan kebijakannya, Sumitro kerap menyuarakan bahwa pembangunan harus menyentuh lapisan terbawah masyarakat melalui pendidikan, keterampilan, dan akses terhadap sumber daya produktif.

Kritik Sumitro terhadap ketergantungan pada modal asing dan impor teknologi sangat kuat, bahkan bisa dibaca sebagai proto-dependency theory, sebagaimana yang dikembangkan oleh Andre Gunder Frank (1967) atau Theotonio dos Santos.

Bedanya, Sumitro lebih pragmatis. Ia tidak menolak investasi asing, tetapi mendesak transfer teknologi, peningkatan kapasitas nasional, dan penguatan industri dalam negeri. Ia adalah seorang nasionalis ekonomi yang kosmopolitan.

Koperasi sebagai Soko Guru: Institusi Lokal dalam Arus Global

Berbeda dengan model kapitalisme Barat, Sumitro menempatkan koperasi sebagai tulang punggung ekonomi kerakyatan. 

Ia menolak individualisme pasar bebas dan mengadvokasi kolektivisme berbasis komunitas melalui:

  • Penyediaan kredit mikro untuk usaha kecil.
  • Penguatan rantai nilai lokal melalui integrasi koperasi dengan BUMN.
  • Pendidikan ekonomi berbasis kearifan lokal.

Konsep ini merefleksikan prinsip ekonomi institusional (North, 1990), di mana lembaga non-pasar berperan dalam mengurangi biaya transaksi dan ketimpangan. 

Dalam konteks kekinian, model ini relevan untuk menjawab tantangan ekonomi digital yang cenderung meminggirkan pelaku usaha mikro.

Sumitro dikenal sebagai ekonom yang menghindari doktrin kaku. Meski berhaluan sosialis, ia menerapkan kebijakan pro-pasar secara selektif, seperti: 

1. Undang-Undang Penanaman Modal Asing (1967) yang membuka ruang bagi investasi asing di sektor non-strategis.

2. Reformasi perbankan dengan mendirikan bank pemerintah untuk mendanai industrialisasi.

3. Penyesuaian anggaran dinamis yang memadukan APBN dengan pendanaan multilateral.

Fleksibilitas ini mencerminkan sintesis antara teori Keynesian (intervensi negara) dan neoliberal (efisiensi pasar)--sebuah pendekatan yang kini diadopsi dalam model ekonomi heterodoks (Rodrik, 2008).

Sumitronomics sebagai Epistemologi Alternatif Pembangunan

Dalam konteks ekonomi global yang terfragmentasi, pemikiran Sumitro menawarkan solusi untuk tiga masalah utama:

1. Ketimpangan struktural: Proteksi sektor strategis ala Gerakan Benteng dapat diadaptasi untuk industri hijau dan digital.

2. Deglobalisasi: Penguatan BUMN dan koperasi menjadi benteng ketahanan ekonomi nasional.

3. Pembangunan berkelanjutan: Integrasi kesejahteraan sosial dan pertumbuhan ekonomi sesuai semangat SDGs.

Jika kebanyakan teori pembangunan besar berasal dari universitas di Barat, Sumitronomics menawarkan epistemologi pembangunan yang lahir dari realitas pascakolonial.

Sumitro berbicara dari Indonesia, namun dengan kesadaran global. Pendekatannya bersifat contextualist, heterodox, dan policy-oriented, tiga karakter yang kini makin diapresiasi dalam literatur pembangunan kontemporer (Rodrik, 2008; Chang, 2010).

Dalam konteks ketegangan geoekonomi, deglobalisasi selektif, dan kembalinya proteksionisme hijau, Sumitronomics menjadi semakin relevan.

Isu seperti hilirisasi sumber daya alam, penguatan BUMN strategis, dan industrialisasi berbasis sumber daya lokal kini menjadi bagian dari diskursus kebijakan, seolah membangkitkan kembali semangat Sumitro dalam format baru.

Penutup

Sumitro bukan hanya arsitek ekonomi Orde Baru, melainkan intelektual pembangunan Global South yang melampaui zamannya.

Melalui Sumitronomics, kita tidak hanya belajar kebijakan, tapi juga etika pembangunan: bagaimana membangun tanpa kehilangan kedaulatan, tumbuh tanpa mengorbankan keadilan, dan berkuasa tanpa melupakan kawan seperjuangan.

Di tengah arus revisi besar teori pembangunan, Sumitro adalah suara yang perlu dibangkitkan kembali--bukan sebagai nostalgia, tapi sebagai inspirasi kontemporer.

Artikel ini tidak hanya merekonstruksi pemikiran Sumitro, tetapi juga menawarkan kerangka analitis untuk menguji relevansinya dalam menjawab tantangan ekonomi abad ke-21.

Sumitronomic bukan sekadar nostalgia, melainkan roadmap untuk kemandirian ekonomi yang inklusif.

Referensi:

Chang, H. J. (2012). 23 things they don't tell you about capitalism. Bloomsbury Publishing USA.

Cumings, B. (1999). Webs with no spiders, spiders with no webs: The genealogy of the developmental state. The developmental state, 61-92.

Djojohadikusumo, S. (1957). The Problems and Policies of Economic Development. Jakarta: FE UI.

Djojohadikusumo, S. (1943). Het volkscredietwezen in de depressive [The People's Credit System in the Depression]. Harlem: Bohn.

Djojohadikoesoemo, S. (1946). Soal bank di Indonesia [About banks in Indonesia]. Djakarta: Poestaka Rakjat.

Djojohadikoesoemo, S. (1954a). Pandangan tjara2 menghadapi kesukaran2 ekonomi di Indonesia [The views of ways to face economic difficulties in Indonesia]. Djakarta: Kementerian penerangan Republik Indonesia.

Djojohadikoesoemo, S. (1954b). Koperasi-koperasi diluar Indonesia [Cooperatives outside Indonesia]. Djakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (PP dan K).

Frank, A. G. (1967). Capitalism and underdevelopment in Latin America (Vol. 93). NYU Press.

Johnson, C. (1982). MITI and the Japanese Miracle: The Growth of Industrial Policy. Stanford University Press.

Rodrik, D. (2007). One economics, many recipes: globalization, institutions, and economic growth. Princeton university press.

Sen, A. (1999). Development as Freedom. Oxford University Press.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun