Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Peneliti Senior Swarna Dwipa Institute (SDI)

Sosialisme Indonesia. Secangkir kopi. Buku. Puncak gunung. "Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik" [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gaya Komunikasi Politik Presiden, dari Chavez sampai Prabowo

8 April 2025   13:39 Diperbarui: 8 April 2025   13:56 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya unik Prabowo saat debat perdana Capres dan Cawapres 2024 di Gedung KPU, Jakarta, Selasa (12/12/2023).(Foto: ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA)

Diskusi Presiden Prabowo dengan tujuh jurnalis dari media besar pada 6 April 2025 menandai babak baru komunikasi politik istana---lebih terbuka, langsung, dan personal.

Ini bukan sekadar presiden ngomong ke rakyat lewat pidato resmi, tapi lebih ke arah pendekatan dialogis dan strategis.

Gaya komunikasi politik seorang presiden sering kali menjadi cerminan strategi kekuasaan dan cara mereka berinteraksi dengan publik.

Tapi, gaya komunikasi politik presiden nggak cuma satu model. Di berbagai negara, para pemimpin punya ciri khas masing-masing, dari yang blak-blakan di radio sampai yang gemar viralkan kebijakan lewat TikTok. 

Yuk kita kulik satu-satu!

O iya, sebelum diskusi kita semakin dalam, Kompasianer dapat memeriksa tulisan saya dengan topik yang lebih khusus:

https://www.kompasiana.com/rahardian76/67f3ec71ed641563183766a2/prabowo-dan-era-baru-komunikasi-politik-istana

1. Hugo Chavez (Venezuela): Si "Raja Radio" Dimasanya

Mendiang Hugo Chavez mungkin salah satu presiden paling nyentrik soal komunikasi. Ia punya acara "Alo Presidente", sebuah platform interaktif di mana ia berbicara langsung kepada rakyat Venezuela.

Ini adalah program rutin siaran langsung di radio dan TV selama berjam-jam--kadang sampai 8 jam! Mempromosikan Revolusi Bolivarian dan melawan imperialisme Amerika Serikat.

Ia bukan cuma kasih update kebijakan, tapi juga cerita, bercanda, nyanyi, bahkan marah-marah ke oposisi.

Ini adalah contoh dari populist communication (Waisbord, 2014), di mana pemimpin mencoba hadir secara langsung dan emosional di ruang publik, melewati media mainstream.

Dengan pendekatan Mediatization of politics (Mazzoleni & Schulz, 1999)--Chvez sengaja melewati filter media dan langsung ke rakyat lewat kanal yang ia kuasai sendiri.

Gaya Hugo ini juga dapat disebut sebagai Media Populism (Mazzoleni, 2008)--elit politik menggunakan media untuk menciptakan citra "orang biasa" yang melawan establishment. 

2. Donald Trump (Amerika Serikat): "Twitter Storm" dan Politik Provokasi 

Trump adalah presiden pertama yang menjadikan Twitter sebagai senjata utama. Cuitannya sering kontroversial, langsung menyerang lawan, atau menyebarkan narasi "kita vs mereka".

Gaya ini mencerminkan komunikasi antagonis (Ott & Dickinson, 2019), yang sengaja memecah opini publik untuk mobilisasi dukungan.

Ini juga mencerminkan pendekatan framing, di mana Trump mengontrol narasi publik sesuai dengan perspektifnya melalui media sosial. Trump mampu membuat isu tertentu menjadi pembicaraan utama masyarakat.

Strategi komunikasi Trump ini disebut Agenda-Setting dalam Media Baru (McCombs & Shaw, 1972)--Trump mengontrol pemberitaan dengan selalu jadi trending topic. 

3. Barack Obama (Amerika Serikat): Si Jago Storytelling

Masih dari negara Abang Sam. Mantan Presiden Barack Obama dikenal sebagai "The Great Communicator" generasi modern.

Gaya bicaranya rapi, penuh narasi, dan personal. Lewat storytelling, ia membuat kebijakan yang rumit jadi relatable.

Misalnya, saat bicara soal Affordable Care Act, ia sering cerita tentang warga biasa yang kesulitan dapat asuransi.

Gaya komunikasi Obama dapat kamu temukan di dalam Narrative Theory in Political Communication (Fisher, 1984)--Pemimpin yang kuat dalam menyusun narasi bisa membentuk realitas politik di benak publik.

4. Emmanuel Macron (Prancis): Filsuf Media Sosial 

Macron aktif di LinkedIn dan Instagram, posting esai panjang atau video kebijakan dengan gaya intelektual.

Ini adalah komunikasi elitisme modern--menggunakan media populer tapi tetap menjaga citra "highbrow". 

Macron adalah contoh kepala negara yang menilai bahwa politik sebagai personal branding. Gaya dapat dilacak dalam buku Political Branding (Cosgrove, 2007).

5. Volodymyr Zelensky (Ukraina): Dari Komedian ke Komunikator Perang 

Zelensky adalah mantan komedian dan aktor, dan itu sangat memengaruhi gaya komunikasinya saat menjadi Presiden Ukraina.

Ia cakap membangun citra lewat vlog dan media sosial. Piawai memakai video pendek untuk menyampaikan pesan perang--baik heroic selfie di Kyiv atau pidato viral di Grammy Awards.

Gaya bahasanya lugas, penuh emosi, dan sangat visual. Saat Ukraina diserang Rusia, Zelensky tampil sebagai simbol perlawanan yang tegas dan humanis.

Menurut Performative Leadership (Alexander, 2011), pemimpin adalah aktor di panggung publik yang harus bisa "memainkan" peran simbolik untuk membangun kredibilitas dan solidaritas nasional.

Gaya ini memadukan komunikasi dramaturgi (Burke, 1969) dan media spectacle (Kellner, 2003). 

6. Nayib Bukele (El Salvador): "The TikTok President" 

Nayib Armando Bukele Ortez, lahir 24 Juli 1981, saat terpilih sebagai Presiden El Salvador usianya masih 38 tahun. Pada 2012, saat usianya 31 tahun dia terpillih sebagai wali kota Nuevo Cuscatln.

Bukele menguasai TikTok dengan konten pendek, mulai dari operasi pemberantasan gangster sampai showcase proyek infrastruktur.

Ini adalah contoh nyata komunikasi politik generasi Z--cepat, visual, dan algoritmik. 

Teori Platform Politics (Van Dijck, 2013)--politik yang dikendalikan logika media sosial. 

7. Narendra Modi (India): The Master of Digital Propaganda

Perdana Menteri India Narendra Modi dikenal karena kemampuan orasinya yang kuat dan emosional.

Ia sering menggunakan bahasa lokal untuk membangun kedekatan dengan rakyatnya, mencerminkan pendekatan linguistik dalam komunikasi politik.

Selain itu, Modi memanfaatkan media digital untuk personal branding dan menyampaikan pesan-pesan politiknya secara luas. Modi punya strategi komunikasi digital yang sangat masif.

Ia aktif banget di media sosial, pakai aplikasi khusus buat kampanye, dan bahkan bikin podcast mingguan "Mann Ki Baat" buat menyapa warga.

Komunikasinya sangat dikontrol, dengan pesan yang dirancang secara emosional dan nasionalistik.

Gaya Modi ini sejalan dengan teori Digital Populism (Gerbaudo, 2018)--Media sosial bukan cuma alat komunikasi, tapi arena pertarungan narasi dan simbol kuasa.

8. Prabowo Subianto (Indonesia): Menuju Era Baru?

Kembali ke Prabowo. Dialog terbuka dengan jurnalis ini bisa jadi sinyal bahwa ia ingin membangun hubungan yang lebih cair dan responsif dengan publik.

Kalau ini berlanjut, kita bisa melihat model komunikasi politik yang hybrid: gabungan antara gaya tegas-militer khas Prabowo dulu, dengan pendekatan naratif dan dialogis yang lebih kekinian.

Gaya komunikasi Presiden Prabowo Subianto ini dapat dipahami melalui teori Hybrid Media System (Chadwick, 2013)--Pemimpin modern harus bisa menggabungkan cara komunikasi tradisional (seperti media cetak atau pidato formal) dengan gaya baru yang interaktif dan digital.

Apa Artinya bagi Prabowo? 

Gaya Prabowo dengan diskusi terbatas jurnalis mirip elite deliberative model (Fishkin, 1991)--dialog terkurasi untuk membangun narasi terkontrol.

Tapi, di era digital, apakah cukup? Sambil tetap mempertahankan format diskusi dengan para pemred sebelumnya, mungkin perlu kolaborasi gaya Chavez (dialog langsung ke rakyat) dan gaya Bukele (platform digital).

Konkretnya: Kalau dulu Chavez menggunakan Radio, mungkin sekarang bisa dengan live di media sosial.

Pendekatan teoritik seperti agenda setting, dramaturgi, dan linguistik membantu kita untuk memahami bagaimana presiden membentuk narasi politik mereka:

  • Agenda Setting: Mengarahkan perhatian publik pada isu tertentu melalui media.
  • Dramaturgi: Mengelola citra diri sesuai situasi untuk menciptakan kesan tertentu.
  • Linguistik: Memanfaatkan bahasa sebagai alat untuk membangun hubungan emosional.
  • Digital Communication: Menggunakan teknologi untuk menjangkau audiens lebih luas dengan biaya rendah.

Kesimpulan

Gaya komunikasi politik presiden adalah refleksi dari strategi mereka dalam membangun legitimasi kekuasaan dan hubungan dengan rakyat.

Dari dialog interaktif Hugo Chavez hingga diplomasi Twitter Donald Trump, setiap gaya memiliki keunikan tersendiri yang mencerminkan konteks budaya, teknologi, dan tantangan politik masing-masing negara.

Komunikasi politik bukan hanya soal menyampaikan pesan; ini adalah seni membangun narasi yang mampu menggerakkan emosi, pikiran, dan tindakan masyarakat.

Di era digital ini, gaya komunikasi seperti diskusi Prabowo menunjukkan bahwa istana pun harus beradaptasi dengan tren komunikasi modern.

Referensi:

Alexander, J. C. (2011). Performance and Power. Polity Press

Burke, K. (1969). A rhetoric of motives. Univ of California Press. 

Chadwick, A. (2017). The hybrid media system: Politics and power. Oxford University Press.

Edelman, M. J. (1985). The symbolic uses of politics. University of Illinois Press.

Fisher, W. R. (1984). Narration as a human communication paradigm: The case of public moral argument. Communications Monographs, 51(1), 1-22.

Fishkin, J. S. (1991). Democracy and deliberation: New directions for democratic reform. Yale University Press. 

Gerbaudo, P. (2018). The digital party: Political organisation and online democracy. Pluto Press.

Kristiana, D. (2018). Propaganda Presiden Hugo Chavez sebagai respons terhadap intervensi Amerika Serikat di Venezuela tahun 2002-2013.

Mazzoleni, G., & Schulz, W. (1999). " Mediatization" of politics: A challenge for democracy?. Political communication, 16(3), 247-261.

Mazzoleni, G. (2008). Populism and the media. In Twenty-first century populism: The spectre of Western European democracy (pp. 49-64). London: Palgrave Macmillan UK. 

Waisbord, S. (2018). Populism as media and communication phenomenon. In Routledge handbook of global populism (pp. 217-234). Routledge.

----------------. (2018). Why populism is troubling for democratic communication. Communication Culture & Critique, 11(1), 21-34.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun