Jalur Pantura itu keras. Panasnya menyengat, bisingnya tidak ada jeda. Hidup di sana seperti adu cepat.
Jalan ini menyimpan banyak cerita tentang bertahan hidup. Salah satunya soal prostitusi.
Orang sering membahasnya pelan-pelan, seolah rahasia umum. Banyak yang langsung mengaitkannya dengan kemiskinan.
Logikanya sederhana. Butuh uang untuk makan, lalu menjual tubuh karena itu satu-satunya aset yang ada.
Pandangan itu tidak keliru, tapi berhenti di situ membuat kita kehilangan gambaran utuh.
Ini bukan semata soal ekonomi. Hidup jarang sesederhana itu.
Kemiskinan di Pantura nyata dan menekan warga, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus (Kompas.id, 2023).
Kondisi keluarga nelayan sering lebih berat. Pendapatan naik turun, cuaca makin sulit ditebak, banjir rob berulang, mereka tak bisa melaut, sumber nafkah pun terpukul (Mongabay Indonesia, 2023).
Tetapi tidak semua yang miskin lantas memilih jalur ini. Fakta itu sendiri sudah berbicara.
Ada faktor lain yang ikut main, sering lebih gelap dan tersembunyi. Kita jarang menengok ke sana.
Ada jaringan kejahatan yang rapi, makelar atau calo yang aktif merekrut, preman yang kabarnya melindungi sekaligus memeras. Banyak perempuan bukan sekadar "memilih", mereka sudah terjebak.